KSBSI.ORG: Jakarta- Awal Agustus 2020, Komisi Kesetaraan Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia melaporkan hasil survei, terkait dampak Covid-19 dalam dunia kerja. Hasil survei ini dilakukan secara online di 15 provinsi dari bulan Mei-Juli 2020. Alasan dilakukan survei juga karena imbas wabah Corona sangat merugikan semua sektor.
Baca juga: Berkomitmen Meningkatkan Kualitas SDM, FPE KSBSI Gelar Training di Morowali , Gonta Ganti Konsep Upah Minimum, Demo di Balai Kota, Buruh KSBSI Desak Anies Cabut Pergub UMP 2021, Sempat Dihadang, KSBSI Lengkapi Dokumen Gugatan UU Cipta Kerja di MK , Menaker Janjikan Pembayaran Termin II Subsidi Upah Cair, Demo Masalah Pemblokiran Rekening, KSBSI Anggap Ketua PN Jakarta Pusat Pengecut,
Terutama
di sektor ekonomi dan tenaga kerja sampai hari ini menyebabkan negara terancam
krisis perekonomian. Sehingga, perusahaan banyak tutup dan banyak buruh
terpaksa tarik nafas, korban pemutusan kerja (PHK) dan dirumahkan, termasuk
buruh perempuan.
Berdasarkan data Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah pada 16
Mei 2020, terdapat 4.084.593 buruh dari 159.780 perusahaan dirumahkan dan kena
PHK akibat imbas pandemi. Dengan rincian, sektor formal 2.304.777 pekerja
dirumahkan dari 44.201 perusahaan. Sementara yang terkena PHK mencapai 641.400
orang dari 41.636 perusahaan. Sektor informal pun ikut terpukul karena
kehilangan 88.805 pekerja yang terdampak dari 31.741 perusahaan atau UMKM.
Emma Liliefna Ketua K2-KSBSI mengatakan, penerapan pembatasan
sosial berskala besar (PSBB) dibeberapa wilayah ikut berdampak pada pemasukan
upah buruh setiap bulannya. Karena, mau tidak mau semua kegiatan produksi di
perusahaan mengalami pengurangan.
“Walau disatu sisi kebijakan PSBB kami anggap baik dan
masyarakat juga diwajibkan menjalankan protokol kesehatan untuk memutus rantai
penyebaran wabah Corona,” ungkapnya, Jakarta, Jumat 11 September 2020.
Kata, Emma survei yang dilakukan memakai metode kuisioner
secara online dengan cara wawancara langsung atau melalui telepon selular
dengan memberikan poin pertanyaan. Untuk peserta responden survei awalnya direncanakan
minimal 500 dan 1.000 orang di 10 provinsi.
“Namun akhirnya total responden yang berhasil di survei
adalah 674 orang di 15 provinsi. Terdiri dari 582 anggota KSBSI dan 92 non
anggota/partisan. Atau tepatnya jumlah laki-laki yang diwawancara 21 orang, perempuan
653 orang dan usia responden dari 17 sampai 50 tahun,” terangnya.
Dijelaskannya, 15 provinsi yang dilakukan survei kuisioner
diantaranya, Banten,
Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Jawa Barat, Riau, Kalimantan Timur, Maluku, Jawa
Timur, Jambi, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan,
Lampung, DKI Jakarta, Aceh, Jawa Tengah.
Sementara profesi pekerjaan peserta kuisioner
terdiri dari buruh
pabrik, pegawai swasta, wiraswasta/ekonomi kreatif, PRT (Pekerja Rumah Tangga),
pegawai negeri, guru, sedang tidak bekerja, honorer
kantor, pelaku UMKM, petani/nelayan, tokoh
masyarakat. Untuk buruh yang sudah diangkat menjadi pegawai tetap 304 orang,
status kontrak 276 orang dan status harian 94 orang.
Emma mengatakan
hasil kuisioner peserta memiliki ragam status pekerjaan dampak Covid-19.
Seperti ada buruh yang masih tetap
bekerja dengan upah penuh sebanyak 195
orang (28,9 persen). Status dirumahkan dengan upah tidak penuh jumlahnya
180 orang (26,7 persen), tetap bekerja dengan upah tidak penuh sebanyak 117
orang (17.4 persen).
“Untuk buruh yang
terkena PHK tanpa pesangon 75 orang (11,1 persen), bekerja dari rumah dengan
upah penuh 33 (4,9 persen), lalu bekerja dari rumah dengan upah tidak penuh 32
(4,7 persen) dan PHK dengan pesangon 26 orang (3,9 persen), terakhir dirumahkan
dengan upah penuh 16 orang (2,4 persen,” ungkapnya.
Selama pandemi, K2N KSBSI juga mempertanyakan apakah perusahaan menerapkan protokol pencegahan covid 19 ditempat kerja ditengah pandemi Covid-19, kuisioner pun memberikan respon bahwa penerapan physical pistancing (pembatasan secara fisik) sebanyak 426 orang menjawab hanya 63,2 persen.
Lalu asalah penerapan penggunaan wajib menggunakan
masker saat bekerja, 528 orang diwawancarai
hasilnya 78,3 persen. Saat tidak melakukan pertemuan diatas jumlah 10
orang, 219 kuisioner menjawab jumlahnya 32,5 persen. Terakhir 25 orang
diwawancarai masalah perusahaan yang tidak menerapkan protokol kesehatan hanya
3,7 persen,” pungkasnya.
“Nah, waktu perserta kuisioner ditanya, apakah perusahaan melakukan pengurangan tenaga
kerja penyebab utamanya Covid-19? sebanyak 370 orang menjawab iya. Namun 304 orang menjawab tidak,” ujarnya
Perempuan Ditengah Pandemi
Lalu
bagaimana dampak buruh perempuan saat bekerja ditengah wabah Corona? Emma
menjelaskan ada beberapa poin wawancara yang disampaikan. Diantaranya masalah
hak terkait hak cuti hamil dan melahirkan sebanyak 444 orang hanya menjawab 65,9 persen. Masalah hak mendapatkan
tunjangan melahirkan 222 orang menjawab hanya
32,9 persen.
“Untuk hak cuti menstruasi 141 orang menjawab
hanya 20,9 persen, tidak mendapatkan hak
apapun 101 orang menjawab hanya 15 persen dan hak
hak menyusui bayi, 83 orang menjawab hanya 12,3 persen,” ucapnya.
Sebagai status buruh perempuan, apakah
sudah ada hak jaminan perlindungan dan kesehatan semasa masa kerja? untuk jaminan
keamanan dan kesusilaan dari 347 orang yang diwawancara hasilnya hanya 51,5
persen. Jaminan tidak ada PHK dari perusahaan 159 orang menjawab hanya 23,6
persen. Bagi yang berusia 18 tahun 97
orang menjawab hanya 14,4 persen.
Hak mendapatkan fasilitas antar-jemput
kerja, 72 orang menjawab hanya 10,7 persen. Terakhir mendapatkan asupan
makanan-minuman, dari 72 orang ditanya jawabannya hanya 10,7 persen. Waktu
ditanya, apakah bantuan program bantuan sosial yang diberikan pemerintah untuk
buruh sudah tepat sasaran?
363 orang
menjawab mungkin. Lalu 212 orang menjawab tidak dan 99 orang menjawab sudah
tepat sasaran.
“Termasuk hasil survei, sebanyak 59,3 persen buruh perempuan
merasa terbebani dengan kebijakan pemerintah dengan meliburkan sekolah akibat Covid-19,”
ujarnya.
Selain itu, dampak Covid-19 juga memiliki dampak
terhadap ketidakadilan berbasis gender. Dari hasil Hasil survei yang dilakukan,
diantaranya mengalami beban ganda
sebesar 57,7 persen. Posisi peran
perempuan menjadi lebih rendah sebanyak 9,9 persen. Penelantaran ekonomi
sebesar 21,2 persen.
“Kekerasan fisik sebesar 1,8 persen,
kekerasan seksual mencapai 1,6 persen, kekerasan psikis 2,1 persen,” terangnya.
Komisi Kesetaraan KSBSI juga mendapatkan
rekomendasi dari kuisioner, bahwa 57 responden berharap dapat pendampingan advokasi
atas masalah yang sedang dihadapi. 107 responden ingin mendapatkan
pelatihan isu-isu krusial termasuk
gender dan 27 orang menginginkan mendapat pekerjaan kembali. Saat dipertegas apa yang paling diinginkan buruh
perempuan saat pandemi berakhir ?
“Pada umumnya buruh perempuan butuh kepastian bekerja kembali setelah pandemi berlalu. Hasil jawaban dari
kuisioner sebanyak 52,2 persen,” tutupnya. (A1)