KSBSI.ORG: Dedi Hardianto Sekjen Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) mengatakan disahkannya Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja tak hanya berdampak pada buruh/pekerja. Namun juga ikut merugikan serikat buruh/pekerja (SB/SP) di Indonesia. Pasalnya, dalam mengadvokasi hak buruh telah berkurang. Karena sudah ada pasal-pasal krusial dalam UU itu yang sengaja menjegal peran aktivis buruh.
Baca juga: 266 Juta Buruh Kehilangan Upah Minimum Yang Layak , Ini Beberapa Catatan Penting Agenda Rakerwil KSBSI Sumut,
Nah, kalau mengacu pada UU Nomor 13 tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan, peran SB/SP sangat luas dalam melakukan advokasi. Seperti
kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan Perjanjian Kerja Antar Waktu (PKWT),
kerja kontrak (outsourcing) dan hak normativ lainnya.
“Tapi dengan hadirnya UU Cipta Kerja justru terdapat
pasal-pasal yang terkesan membuat pengusaha semakin leluasa menghilangkan masa
depan buruh. Jadi sudah bisa dipastikan tidak ada lagi kepastian jaminan kerja
di dunia kerja,” ungkap Dedi dalam agenda ‘Special Membership Meeting Post
Covid-19’, di Hotel Karwika, Bogor Jawa Barat, 6-7 Desember 2020, yang diadakan
KSBSI.
Kata Dedi, sebelumnya dalam undang-undang yang lama, pemerintah
masih membatasi masalah jenis-jenis kerja outsourcing. Nah, dalam UU Cipta
Kerja, justru kerja kontrak semakin terbuka lebar, tak ada lagi dibatasi. Lalu,
saat ini kalau ada buruh yang ter-PHK bisa mendapat pesangon. Namun yang
menjadi pertanyaan, kalau perusahaannya sudah tutup dan si pengusaha kabur, maka
buruh tak mendapatkan haknya. Sebab negara sudah menjaminnya.
“Saya juga mengkhwatirkan posisi tawar serikat buruh/pekerja
di perusahaan dalam memperjuangkan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) pasti
mengalami penurunan,” ucapnya.
Dia menceritakan, posisi buruh di negara ini selalu terzalimi
dari zaman orde baru sampai reformasi dalam pembuatan undang-undang
ketenagakerjaan. Negara terkesan hanya membela kepentingan pengusaha, sementara
buruh menjadi tumbal ekonomi pembangunan. Serikat buruh/pekerja yang menjadi
wadah perjuangan juga ikut di kebiri.
“Termasuk posisi tawar SB/SP juga semakin dilemahkan.
Bayangkan saja, sebelum UU Cipta Kerja
disahkan saja jumlah anggota serikat buruh/pekerja mengalami penurunan. Apalagi
berlakunya undang-undang ini pastinya bisa turun lebih drastis dan ini bisa
menjadi ancaman demokrasi,” jelasnya.
Dedi meminta semua serikat buruh/pekerja di Indonesia
sebaiknya melakukan evaluasi gerakan. Hal ini dikarenakan, fenomena yang
terjadi, jumlah SB/SP dari tingkat nasional, lokal dan perusahaan setiap tahun
bertambah. Tapi mirisnya, jumlah kuantitas anggota setiap tahun terus menyusut.
“Saya berharap semua aktivis buruh sejak dini mengantisipasi bahaya dari pasal-pasal krusial UU Cipta Kerja. Karena kedaulatan SB/SP sebagai pembela buruh bisa disisihkan kalau tidak menentukan sikap,” tegasnya.
Pihaknya juga saat ini sudah melakukan permohonan judicial
review UU Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi (MK) dan tinggal menunggu proses
jadwal persidangan. Adapun permohonan pengujian formil Bab IV dan pengujian materil
pasal 42 ayat (3) huruf c, Pasal 57, Pasal 59, Pasal 61 ayat (3), Pasal 61A
ayat (1), Pasal 89, Pasal 90B, Pasal 154A, Pasal 156, Pasal 161, Pasal 162, Pasal
163, Pasal 164, Pasal 165.
Kemudian Pasal 166, Pasal 167, Pasal 168, Pasal 169, Pasal
170, Pasal 171, Pasal 172 bagian kedua serta Pasal 151, pasal 53, Pasal 57,
Pasal 89A, Bagian kelima Bab IV Undang-Undang No. 11 Republik Indonesia Nomor
6573 atau UU Cipta Kerja. Untuk materi judicial review yang disiapkan
adalah melakukan gugatan materil, mengenai dampak tekanan mental terhadap pasal
UU Cipta Kerja tentang status Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan kerja
kontrak (outsourcing). (AH)