Ditengah Pandemi, Kebangkitan Industri TGSL Masih Besar

Ditengah Pandemi, Kebangkitan Industri TGSL Masih Besar

KSBSI.ORG, JAKARTA Aliansi Pekerja Buruh Garmen Alas Kaki dan Tekstil Indonesia (APBGATI) melakukan kegiatan dialog publik dengan mengangkat tema ‘Transparansi Dalam Membangun Joint Komitmen’ di Hotel Sentral Cawang, Jakarta Timur, Selasa (23/22021). Agenda diskusi tersebut mengundang perwakilan organisasi pengusaha di sektor industri garmen, tekstil, sepatu dan alas kaki (TGSL), sebagai nara sumber untuk memaparkan peluang industri garmen, tekstil dan alas kaki pada 2021 ini.

Baca juga:  Soroti PP-35, Elly Rosita Silaban: Pertempuran Belum Selesai Kawan-kawan!,

Diantaranya Ann Chang, David Hong Korean Garment (KOGA), Agung Pambudi dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Rizal Tanzil R Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Firman Bakri Asosiasi Persepatuan Indonesia (APRISINDO) dan Mohamad Anis Agung Nugroho Better Work Indonesia. Dan Edi Kustandi Ketua Badan Pekerja Harian APBGATI sebagai moderator diskusi.

Ann Chang mengatakan pandemi Covid-19 ikut berdampak pada perusahaan. Segala kegiatan produksi sempat mengalami kendala, karena kebijakan pembatasan aktivitas manusia dalam mematuhi protokol kesehatan (Prokes) Covid-19. Termasuk, kegiatan ekspor dan impor pun sempat ikut mengalami penurunan.

Dampak pandemi ini, dia mengungkapkan banyak pengusaha terpaksa merumahkan sebagian pekerjanya. Sebagian lagi, memberlakukan pengurangan jam kerja dan memutus kontrak kerja, termasuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Jadi, mau tidak mau pekerja mengalami penurunan upah. Sehingga berdampak pada beban perekonomiannya. 

Selain itu, daya beli masyarakat pun saat ini mengalami penurunan sekarang ini. Sehingga, hasil produksi perusahaan yang dipasarkan tidak membawa keuntungan signifikan. Artinya, situasi yang sedang terjadi hari ini memang dilema. Ditambah lagi, sebelum terjadi pandemi, dia menyampaikan kebijakan upah diwilayah Jawa Barat sudah terbilang tinggi.

“Karena upah tinggi ini, banyak pengusaha kesulitan membayar kepada pekerjanya dan akhirnya terpaksa memilih pindah perusahaan ke daerah lain. Seperti pindah ke wilayah Jawa Tengah, karena kebijakan upahnya tidak tinggi,” ujarnya.

Tegasnya, peluang industri garmen dan tekstil berpeluang bangkit dimasa pandemi, karena sektor usaha ini sanggup bersaing di kawasan negara Asia. Termasuk, hadirnya Undang-Undang Cipta Kerja membawa angin segar pada industri padat karya, khususnya dalam upah.

Agar industri di sektor TGSL eksis, Ann Chang pun menuturkan setiap hasil produksi harus mempertahankan kwalitasnya. Termasuk pengusaha dan perwakilan serikat pekerja/buruh harus bisa mencari solusi jalan tengah lewat agenda sosial dialog dalam menciptakan kesejahteraan pekerjanya.

Rizal Tanzil R menyampaikan kondisi tekstil di Indonesia menjelaskan industri TGSL sebenarnya memiliki masa depan yang bagus. API juga siap mendukung sektor bisnis garmen dan tekstil menjadi lebih siap bersaing kedepannya.

Karena itu, dia mendorong semua pihak harus bersinergi untuk menciptakan Sumber Daya Manusia (SDM) pekerja di sektor industri dalam menjawab tantangan ditengah persaingan global.  “Jadi sudah waktunya para pekerja di sektor tekstil SDM nya harus ditingkatkan. Contohnya, seperti pekerja bagian operator sebaiknya sudah memiliki sertfikat yang berbasiskan kompetensi,” jelasnya.

Dia juga menyarankan peran serikat pekerja/buruh pun sebenarnya sangat penting mendorong anggotanya untuk meningkatkan SDM. Sebab tak bisa dibantah, kunci kemajuan masa depan industri di Indonesia adalah SDM berkwalitas.

Firman Bakri menjelaskan tantangan industri alas kaki di Indonesia juga terkena imbas dimasa pandemi. Hal ini dikarenakan ekspor alas kaki sepatu ke negara-negara Eropa dan Amerika Serikat mengalami penurunan, akibat pembatasan aktivitas manusia. Dampak wabah Corona juga ikut memengaruhi daya beli masyarakat dunia menurun.

“Tapi saya optimis, industri alas kaki sepatu bisa bangkit kalau semuanya bersinergi. Walau dimasa sulit ini, kita masih bisa tembus melakukan ekspor Negara China,” ungkapnya.

Agung Pambudi sangat setuju, kalau sektor industri garmen, tekstil dan alas kaki mengantisipasi pesatnya perkembangan teknologi era 4.0. Terlebih lagi, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), imbas pandemi Covid-19 menyebabkan 29 juta orang terdampak pandemi. Diantaranya, 24 juta orang mengalami pengurangan jam kerja dan 2,5 juta orang kehilangan pekerjaan.

Artinya, tantangan lapangan kerja hari ini semakin berat, sebelum terjadi wabah Corona. Ditambah lagi, setiap triliun investasi perusahaan justru penyerapan tenaga kerja semakin menyusut. Karena tenaga manusia mulai digantikan teknologi di dunia kerja.

“Contohnya, pada tahun 2013 dari 1 triliun yang di investasikan menyerap sekitar 4500 orang. Namun pada 2019 lalu, mengalami penurunan penyerapan tenaga kerja, hanya sekitar 1200 pekerja saja,” ucapnya.

Mengingat tantangan lapangan kerja yang semakin berat, Agung menyampaikan solusinya adalah harus ada peningkatan SDM. Kalau pun pemerintah, memberikan bantuan subsidi usaha, namun SDM lemah, dia menilai negara tidak akan bisa menghadapi persaingan global.

APBGATI merupakan aliansi serikat pekerja/buruh dari lintas sektor industri Garmen Alas Kaki dan Tekstil. Sementara, pendirinya adalah dari perwakilan FSB GARTEKS KSBSI, PP FSP TSK SPSI, FSP TSK KSPSI, KSPN, RTMM GARTEKS SARBUMUSI, SBSI 92, APINDO, API dan APRISINDO. (A1)  

 

Komentar