KSBSI.ORG, Tangerang. Trisnur Priyanto Sekjen DPP Federasi Serikat Buruh Garmen, Kerajinan, Tekstil, Kulit dan Sentra Industri Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (DPC FSB GARTEKS-KSBSI) mengatakan buruh harus memperhatikan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di lingkungan kerja dimasa pandemi Covid-19. Pasalnya, wabah Corona yang belum berakhir ini, telah banyak merengut nyawa dan mengancam kesehatan pekerja.
Baca juga: Serikat Buruh GARTEKS Serang Fasilitasi Sosialisasi JHT,
Jadi, kata Trisnur ‘safety culture’ atau budaya kesehatan
sangat penting diterapkan di perusahaan.
Hal ini didukung Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) Republik Indonesia
Nomor HK.01.07/Menkes/328/2020 Tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian
Covid-19 di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri Dalam Mendukung
Keberlangsungan Usaha Pada Situasi Pandemi. Artinya, dimasa pandemi, perusahaan
wajib melindungi pekerjanya dari pencegahan wabah Corona.
“Serikat buruh sangat penting mengadvokasi kalau ada
perusahaan ditempat kerjanya tidak menerapkan protokol kesehatan (Prokes). Jadi
jangan fokus pada tuntutan upah layak saja, K3 itu juga perlu,” ujarnya pada
acara Membership Meeting dengan tema ‘Pentingnya K3 Dimasa Pandemi Covid-19’di
VHotel Bandung beberapa waktu lalu, menjelang Konfercab DPC FSB GARTEKS KSBSI
Tangerang Raya.
Contohnya, jika ada anggota serikat buruh yang terdampak
Covid-19 di lingkungan kerjanya, maka perusahaan bertanggung jawab terhadap
perawatan medisnya di rumah sakit. Kalau buruh ini sudah dinyatakan sembuh,
lalu perusahaan menyarankan kembali isolasi mandiri, Trisnur mengatakan saran
itu tidak perlu di ikuti.
“Sebenarnya yang memastikan seorang yang terpapar
Covid-19, sudah sehat atau belum hanya dokter, bukan perusahaan. Kalau ada
buruh yang telah pulih dan ingin kembali bekerja tapi masih dianjurkan oleh
perusahaan untuk isolasi mandiri, itu salah besar. Apalagi kalau gajinya
dipotong selama isolasi, maka serikat buruh harus melakukan advokasi,”
jelasnya.
Trisnur juga menyampaikan aktivis buruh harus bersikap
kritis mengenai penerapan Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja
(P2K3). Karena P2K3 di perusahaan masih banyak sebatas label. Atau tepatnya
belum serius dijalankan secara keseluruhan. Terlebih lagi, jumlah kecelakaan
kerja di Indonesia pun masih tinggi. Sebagian mengalami cacat fisik, ada juga
yang meninggal.
“Sayangnya, kampanye dan advokasi serikat buruh terhadap
masalah ini belum terlalu diperhatikan.
Dia menekankan aktivis serikat buruh harus membangun membangun paradigma baru. Serta menyarankan pengurus komisariat (PK) FSB GARTEKS KSBSI untuk mendorong perusahaan menerapkan P2K3. Sebab, jumlah buruh yang mengalami kecelakaan kerja,masih jarang terdata dan diketahui buruh ditempat perusahaannya. (A1)