KSBSI.ORG,JAKARTA-Memperingati International Woman Day (IWD) atau Hari Perempuan International yang dirayakan setiap 8 Maret, International Institute for Workers Education (IIWE) bersama Komite Kesetaraan Federasi Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (K2F KSBSI) mengadakan webinar. Pembicara webinar ini dihadiri Elly Rosita Silaban (Presiden KSBSI), aktivis perempuan Luviana Ariyanti, Emma Liliefna (Ketua K2F KSBSI) dan Maria Emeninta dari IIWE sebagai moderator diskusi.
Baca juga: Program Perlindungan Sosial Masih Lemah, KSBSI Dorong Aliansi Lintas Sektoral,
Luviana Ariyanti menyampaikan agar perempuan Indonesia
terlibat langsung mendorong Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan
Seksual ( RUU PKS) untuk disahkan DPR RI. Pasalnya, RUU ini sempat tertunda,
karena wakil rakyat di Gedung Parlemen belum serius menyikapinya. Ditambah
lagi, berbagai kasus kekerasan, seperti peristiwa pemerkosaan massal yang
terjadi pada tragedi kerusuhan 1998, sampai hari ini belum terungkap siapa
dalang pelakunya.
“Saya sangat mengapresiasi dengan KSBSI yang selama ini
sangat konsisten memperjuangkan kesetaraan gender. Serta berkomitmen melakukan
advokasi dan kampanye melawan diskriminasi, kekerasan dan pelecehan seksual
berbasis gender,” ucapnya.
Lanjutnya, ia menjelaskan ada beberapa alasan RUU PKS wajib
disahkan. Diantaranya, bahwa kekerasan seksual itu sangat menyerang secara
pribadi sehingga membawa dampak trauma. Data dari Komnas Perempuan pada 2019,
jumlah kekerasan terhadap perempuan pun meningkat dari tahun 2018, sebesar
431.471 kasus. atau naik 6 persen.
Kekerasan berbasis gender melalui online juga meningkat.
Seperti terjebak dalam jeratan hutan online, maupun kekerasan online yang
menggunakan tubuhnya. Selain itu pekerja perempuan sangat rentan dengan
kekerasan seksual di lingkungan kerja dan rumah tangga. Penyebabnya memang tak
jauh dari lingkaran masalah dan sering masuk perangkap modus penipuan pimpinan
perusahaan. Dan pada umumnya korban disuruh diam karena ada relasi kekuasaan di
tempat kerja.
Kemudian ada juga kasus kekerasan ini yang terjadi di sektor
sumber dala alam. Banyak kasus tersebut dilakukan, saat terjadi perebutan dan
penguasaan tanah masyarakat yang dilakukan pengusaha nakal. Sehingga, hak-hak
perempuan banyak yang sengaja dilecehkan.
“RUU PKS ini juga untuk keberpihakan terhadap kelompok
disable. Sebab banyak perempuan disable yang sering menjadi korban kekerasan
dan pelecehan seksual, bahkan mengalami pemerkosaan. Dan inti memperjuangkan
RUU PKS agar disahkan adalah menghentikan segala bentuk kekerasan terhadap
perempuan,” tegasnya.
Elly Rosita Silaban mengatakan pandemi Covid-19 sangat
berdampak pada kondisi buruh perempuan. Karena banyak perusahaan terpaksa tutup
dan sebagian lagi terjadi pengurangan jam kerja. Sehingga penghasilan mereka
setiap bulan mengalami penurunan. Bahkan, berbagai kekerasan dan diskriminasi
menimpa perempuan didalam rumah tangga pun semakin meningkat dimasa pandemi
ini.
“Namun ditengah krisis global yang sedang terjadi, saya
mengajak kaum buruh perempuan tetap optimis dan bisa menghadapi tantangan berat
ini, “ ujarnnya.
Lugasnya, dia menjelaskan momen perayaan Hari Perempuan
Internasional tahun ini seluruh buruh perempuan masih mengalami ketimpangan
sosial. Karena itu, KSBSI ikut mendorong program Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB)
yang saat ini sedang membuat program keberpihakan perempuan yang terdampak
pandemi. Termasuk mendorong pemerintah Indonesia ikut merealisasikan program
tersebut.
“KSBSI pun saat ini bersama Konfederasi Serikat Buruh
Internasional (ITUC) sedang ikut mengkampanyekan ‘Kontrak Sosial Baru’. Salah
satu tujuannya, bagaimana perwakilan pemerintah dan serikat buruh/pekerja bisa
duduk bersama untuk menciptakan program perlindungan jaminan sosial yang
berpihak pada buruh dan perempuan melalui mekanisme Tripartit,” jelasnya.
Sementara, Emma Liliefna menerangkan tujuan disahkannya RUU
PKS itu sangat baik untuk keberpihakan berbasis gender di dunia kerja. Namun ia
mengingatkan bahwa bahwa ratifikasi Konvensi ILO No. 190 tentang Penghapusan
Kekerasan dan Pelecehan berbasis gender di dunia kerja belum direalisasikan
pemerintah.
Ia menjelaskan ratifikasi Konvensi ILO 190 mampu memutus
rantai kekerasan dan pelecehan seksual berbasis gender. Sebab seorang buruh
perempuan juga mempunyai hak yang sama ketika dia berada di dunia kerja. Sesuai
dengan semangat Deklarasi Philadelphia yang menegaskan bahwa setiap manusia
tidak memandang ras, keyakinan dan jenis kelamin.
“Lalu memiliki hak mengejar kesejahteraan materi dan
perkembangan spiritual. Serta kebebasan dan martabat dan jaminan ekonomi,
kesempatan yang sama dalam perlindungan pekerja/buruh,” katanya.
Selain itu Ratifikasi Konvensi ILO juga mampu melindungi seorang yang sedang mengikuti program pelatihan di perusahaan, tanpa memandang status kontrak kerja. Termasuk bermanfaat bagi siswa magang, pekerja yang habis kontrak dan sukarelawan maupun pelamar kerja. (A1)