KSBSI.ORG, JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS) merilis jumlah pengangguran di Indonesia sampai Februari 2021 mencapai 8,75 juta orang. Jumlah ini naik menjadi 26,26% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 6,93 juta orang. Namun BPS menerangkan angka jumlah pengangguran mengalami penurunan 10,44 persen dibandingkan pada Agustus 2020 yang mencapai 9,77 juta orang.
Baca juga: Bulan Depan FPE KSBSI Akan Menggelar Kongres ke VI, Tingkatkan Kapasitas Buruh, Koorwil KSBSI Palembang Gelar Pelatihan K2N dan Media,
Lebih rinci, BPS menyampaikan tingkat
pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia mencapai 6,26 persen pada Februari
2021. TPT tersebut naik dibandingkan 1,32 persen poin dibandingkan Februari
2020 yang sebesar 4,99 persen. Namun, angkanya turun 0,81 persen poin ketimbang
Agustus 2020 yang sebesar 7,07 persen. Dan TPT tertinggi pada Februari 2021
terletak di perkotaan mencapai 8 persen. Sementara, TPT di perdesaan sebesar
4,11 persen.
Selain itu terdapat 19,1 juta orang
usia kerjanya produktif terkena imbas pandemi Covid-19 sampai Februari 2021.
Angka tersebut menurun 34,41% dibandingkan Agustus 2020 lalu yang sebesar 29,12
juta. Dan sebanyak 15,72 juta orang mengalami pengurangan jam kerja sebagai
dampak pandemi. Dan 1,11 juta orang sementara tidak bekerja karena pandemi.
Serta 650 ribu penduduk bukan angkatan kerja (BAK) yang pernah berhenti bekerja
sejak Februari 2020.
Marihot Nainggolan Ketua Umum (Ketum)
Federasi Kontruksi, Umum dan Informal-Konfederasi Serikat Buruh Seluruh
Indonesia (FKUI- KSBSI) mengatakan dalam mengatasi soal pengangguran dimasa
pandemi, pemerintah harus membuka lapangan kerja sebanyak mungkin. Tanpa
mengurangi regulasi serta hak dan kesejahteraan buruh.
“Kemudian pemerintah harus
menyederhanakan jalur birokrasi yang rumit, ketika investor ingin membuka
perusahaan,” ucapnya saat diwawancarai di Kantor KSBSI, Cipinang Muara, Jakarta
Timur, Senin, (14/6/21).
Ia menjelaskan, salah satu alasan
meningkatnya jumlah pengangguran, karena persoalan izin birokrasi terlalu
mempersulit peraturan membuka usaha. Baik dari tingkat atas sampai bawah.
Sehingga, banyak investor asing akhirnya tidak tertarik membuka lapangan kerja
di Indonesia. Padahal, kalau dilihat dari iklim usaha, negara ini sangat
berpotensi menjadi daerah industri, karena didukung Sumber Daya Alam (SDM).
“Bahkan praktik pungutan liar
(Pungli) pun masih marak terjadi, sehingga banyak pengusaha banyak menjerit dan
mengalami kerugian. Jadi pemerintah jangan ragu-ragu bertindak memberantas
segala bentuk praktik pungli,” tegasnya.
Selain itu, dia mengingatkan disaat
pemerintah gencar mengundang investor asing membuka perusahaan, pemerintah
jangan membiarkan Tenaga Kerja Asing (TKA) yang tidak memiliki keahlian leluasa
bekerja di Indonesia. Sebab, sekarang ini banyak TKA dari seperti negara Cina
bekerja di Indonesia, justru bukan dari tenaga ahlinya.
“Ya kalau mereka bekerja namun
keahliannya sama dengan buruh di negara kita, tentu saja bisa menyebabkan
kesenjangan sosial dan penyerapan tenaga kerja lokal sangat minim. Jadi,
pemerintah harus bisa membuat peraturan, bahwa TKA yang bekerja di Indonesia
itu sebaiknya sebagai tenaga ahli saja, jangan membawa buruh kasar,” jelasnya.
Artinya, memasuki tahun kedua pandemi
Covid-19, Marihot menilai Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebenarnya sudah punya
konsep mengatasi ledakan pengangguran. Namun aktualisasinya ditengah masyarakat
sangat lamban dan sering tidak tepat sasaran.
“Faktanya, banyak bantuan program
seperti Kartuprakerja kepada buruh
korban Covid-19, justru tidak merata. Ada masyarakat yang selayaknya tidak
perlu mendapatkan bantuan, namun dapat. Tapi korban Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK) yang sedang membutuhkan tidak dapat,” ungkapnya.
Terkait program pelatihan (Vokasi)
yang sedang gencar dilakukan beberapa lembaga kementerian pun dinilainya tidak
tepat sasaran. Sebab, uang yang telah banyak dikeluarkan negara, justru belum
bisa menjawab bagi masyarakat yang sudah lulus dari program vokasi langsung
bekerja.
“Seharusnya uang yang sudah banyak
dikeluarkan untuk program vokasi langsung ada manfaat bekerja. Tapi ini kan
tidak dan kalau saya lihat program ini masih sebatas formalitas. Pemerintah
belum terlihat serius untuk memprioritaskan pelatihan yang dibuat bisa ada
manfaat masyarakat untuk bekerja,” ucapnya.
Supaya program vokasi bisa tepat
sasaran, dia berpendapat pemerintah harus menggandeng semua pihak, termasuk
serikat buruh untuk bekerja sama. Serta merumuskan jenis program vokasi apa
yang sedang dibutuhkan dunia kerja saat ini. “Kalau hanya jalan sendiri, tanpa
melibatkan berbagai pihak, saya pikir akan sia-sia nantinya. Uang negara habis,
tapi hasil minim,” kata Marihot.
Presiden Jokowi bersama pembantu
kabinetnya harus serius mengatasi ledakan pengangguran. Kalau dianggap sebelah
mata, hanya menunggu bom waktu yang akan
meledak setiap waktu. Sebab, soal pengangguran itu, sangat mengancam keamanan,
ekonomi dan sosial.
“Mengatasi masalah pengangguran,
pemerintah sebaiknya jeli mendata jumlah orang miskin dan sedang tidak bekerja,
agar bantuan sosial yang diberikan tepat
sasaran. Serta menyiapkan tenaga kerja unggul dan lapangan kerja. Dan terakhir,
jangan membiarkan TKA masuk ke Indonesia, kalau tidak memiliki keahlian kerja,”
tandasnya. (A1)