Pemerintah Belum Ada Niat Serius Memberantas Kejahatan Perdagangan Orang

  Pemerintah Belum Ada Niat Serius Memberantas Kejahatan Perdagangan Orang

Emma Liliefna : Ketua Komisi Kesetaraan Nasional Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (K2N KSBSI)

KSBSI.ORG, Jakarta - Hari Anti Perdagangan Manusia Sedunia baru saja diperingati setiap tahunnya. Tepatnya pada tanggal 30 Juli kemarin. Peringatan ini bertujuan untuk melawan segala bentuk praktik kejahatan perdagangan manusia yang dianggap melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).

Baca juga:  Polisi Hong Kong Mengintimidasi Reporter dan Menyita Dokumen Perjalanan,

Emma Liliefna Ketua Komite Kesetaraan Nasional Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (K2N KSBSI) mengatakan kejahatan perdagangan orang masih marak terjadi diberbagai negara. Termasuk di Indonesia, salah satu paling tertinggi dikawasan Asia Tenggara. Korban yang menjadi perdagangan orang banyak terjadi pada Pekerja Migran Indonesia (PMI).

 

“Banyak PMI perempuan kita sering tertipu sindikat perdagangan orang. Mereka dijanjikan bekerja di pabrik seperti di Negara Malaysia. Tapi setelah tiba di negara tujuan justru dipekerjakan ditempat hiburan. Atau tidak sesuai perjanjian kerja dan terjadi kejahatan eksploitasi manusia,” ucap Emma, saat diwawancarai, beberapa waktu lalu, di Cipinang Muara, Jakarta Timur.   

Ditambah lagi, dimasa pandemi Covid-19 ini, Emma juga menilai kasus perdagangan orang kemungkinan makin meningkat. Karena dampak virus Corona, menyebabkan krisis ekonomi. Sehingga banyak orang yang mencari pekerjaan. Jadi mau tidak mau, untuk menghentikan kejahatan ini, tak hanya mengedepankan penegakan hukum.

“Namun pendekatan kemanusiaan juga dibutuhkan,” ungkapnya.

Emma menilai, bahwa pemerintah sampai hari ini belum ada menunjukan keseriusan dalam memberantas kejahatan perdagangan orang. Bahkan dalam memberikan jaminan Hak Asasi Manusia (HAM), hukum dan hak perlindungan lainnya saat PMI bekerja di luar negeri.

“Saya lihat memang sudah ada langkah dan tindakan yang dilakukan pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada PMI. Termasuk membuat regulasi untuk memberikan perlindungan diluar negeri. Tapi dalam urusan advokasi belum signifikan dan lamban,” tegasnya.

Ia juga menganggap pemerintah masih terkesan lamban mengadvokasi kalau ada PMI yang bermasalah di negara tempatnya bekerja. Sebab, seharusnya dalam soal kemanusiaan, pemerintah harus bertindak tegas dan tidak perlu lembek.

“KSBSI sampai hari ini tetap bersikap kritis dalam menyuarakan kasus perdagangan orang. Tapi kalau tidak didukung secara serius oleh pemerintah saya pikir gerakan ini tidak efektif,” tegasnya.

Emma menyimpulkan alasan mengapa negara lamban melakukan advokasi terhadap PMI bermasalah diluar negeri tak jauh dari budaya birokrat yang belum bisa melakukan reformasi. Artinya, pemerintah belum ada keinginan untuk memberikan perlindungan kuat kepada PMI. Padahal, selama ini mereka diberi gelar pahlawan ‘Devisa Negara’.

Selain itu, Emma menilai, gelar pahlawan devisa negara yang disematkan kepada PMI itu hanya kiasan saja. Sebab faktanya, tenaga dan jasanya belum terlalu dihargai oleh pemerintah. Sementara, disatu sisi mereka ini adalah salah satu penyumbang tertinggi keuangan negara.

“Menurut saya gelar itu sebaiknya dihilangkan saja. Pengorbanan dan jasa PMI sering diabaikan, karena mereka masih dianggap sebagai mesin pencetak uang saja oleh negara,” lugasnya.

Terakhir, dalam memperingati Hari Anti Perdagangan Manusia Sedunia, Emma mengatakan pemerintah harus bisa bersinergi dengan serikat buruh dan LSM. Dimana, bisa duduk bersama untuk membuat format perlindungan PMI yang kongkrit saat mereka bekerja diluar negeri.

“Sebelum berangkat ke luar negeri PMI harus dibekali pemahaman hak kesejahteraan dan jaminan perlindungan selama bekerja,” tandasnya. (A1)     

Komentar