Tak Berdampak Pandemi, Tapi Hak Buruh Sektor Kelapa Sawit Banyak Terzalimi

 Tak Berdampak Pandemi, Tapi Hak Buruh Sektor Kelapa Sawit Banyak Terzalimi

Mathias Mehan : Sekjen F HUKATAN KSBSI

KSBSI.ORG, Jakarta - Beberapa waktu lalu, Airlangga Hartarto Menteri Koordinator Perekonomian menyampaikan industri kelapa sawit merupakan aset Indonesia yang harus dipertahankan dimasa pandemi Covid-19. Sebab, bisnis ini memberi keuntungan besar bagi perekonomian dan memajukan perekonomian masyarakat.

Baca juga:  KSBSI Wanti-wanti Kemnaker, Tak Boleh Ada Dana Sisa BSU Tahun Ini,

“Saat ini, ada 16 juta pekerja/buruh di sektor perkebunan dan industri kelapa sawit yang tetap bekerja.  Mereka tetap produktif ditengah kondisi perekonomian sedang mengalami krisis,” ucapnya.        

Mathias Mehan Sekjen Federasi Buruh Kehutanan, Perkebunan dan Pertanian-Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (F HUKATAN KSBSI) menyampaikan industri sektor sawit sebenarnya ikut terdampak Covid-19. Walau tidak separah bisnis lainnya yang banyak bangkrut. Ia mengingatkan kepada pemerintah supaya tidak abai, bahwa buruh perkebunan sawit juga rentan terpapar Covid -19.

“Walau sebagian besar mereka bekerja dialam bebas dan pabrik pengolahan sawit, tapi sudah ada buruh yang positif Covid-19, walau jumlahnya belum signifikan. Kalau tidak disikapi serius, masalah ini bakal menjadi bencana besar,” ucapnya, saat diwawancarai melalui seluler, Sabtu (7/7/21).

Termasuk, dimasa pandemi ini, masih banyak terjadi kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang menimpa buruh sawit. Alasan perusahaan mengurangi jumlah  tenaga kerja, karena dampak Covid-19. Padahal, fakta yang disampaikan pemerintah, industri sawit kan tidak begitu terkena imbas.

“Dugaan saya, buruh yang di PHK ini latar belakangnya karena menuntut hak upah layak. Tapi pihak perusahaan tidak suka dan akhirnya mereka yang menuntut posisi jabatannya dimutasi. Kalau buruh tidak mau, akhirnya dipecat dengan memakai dalih pandemi,” ungkapnya.

Tegasnya, Mathias mendesak pemerintah memperhatikan nasib buruh di sektor perusahaan sawit. Pasalnya, industri ini salah satu pemasukan terbesar keuangan negara. Namun dibalik itu, masih banyak upah dan kesejahteraannya yang tidak layak diterima mereka.

“Pada umumnya, buruh perkebunan sawit itu upahnya masih dibawah rata-rata Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan Upah Minimum Provinsi (UMP). Kecuali perusahaan tingkat nasional sudah menerapkan upah layak, karena telah ada serikat buruh/pekerjanya yang melakukan advokasi,” kata Mathias.

Kata Mathias, buruh di sektor sawit juga masih banyak yang tak didaftarkan sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan oleh ‘pengusaha nakal’. Padahal, pemerintah sudah mewajibkan, semua perusahaan, buruhnya harus mendapat jaminan perlindungan sosial. Sebagian lagi status mereka hanya sebagai pekerja harian. Atau tak jauh beda praktik ini eksploitasi tenaga manusia seperti warisan zaman kompeni  Belanda.

“Bagi buruh sektor perkebunan sawit yang belum bergabung, sebaiknya menjadi anggota dan pengurus serikat buruh. Nanti mendapat pendampingan, pendidikan advokasi, pelatihan kepemimpinan organisasi dan negoisasi. Semua ilmu organisasi yang diberikan ini modal memperjuangkan hak buruh di perusahaan,” terangnya.

Serikat buruhnya pun tetap melakukan dialog sosial dalam menyikapi dampak Covid-19 yang hampir 2 tahun terjadi di Indonesia. Diantaranya rutin berdialog dengan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) dan International Labour Organization (ILO) perwakilan Jakarta. Tujuannya membangun hubungan industrial yang harmonis antara pengusaha dan serikat buruh/pekerja.

“F HUKATAN juga ikut terlibat membangun Jaringan Serikat Pekerja Buruh Sawit Indonesia (Japbusi) lintas serikat pekerja/buruh. Ada 6 Federasi dari Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) yang bergabung di jaringan yang dibentuk ini,” ungkapnya.     

Terakhir, pihaknya ikut menggagas program ekonomi pedesaan. Agenda tersebut tak jauh dari dampak Covid-19 yang menyebabkan jutaan buruh, khususnya diperkotaan ter-PHK. F HUKATAN akan terlibat mendorong pemerintah untuk memfasilitasi program wirausaha dalam bentuk membuka lahan pertanian, perkebunan, peternakan bagi buruh yang tidak bekerja lagi.

“Saya pikir program ini jauh lebih bagus direalisasikan pemerintah untuk membangun perekonomian negara yang sedang terpuruk. Dari pada mereka yang telah kehilangan kerja menjadi pekerja migran diluar negeri,” tutupnya. (A1)

Komentar