Hakim Konstitusi Saldi Isra Luar Biasa Kritis Membongkar Rahasia Dibalik Proses Pembentukan UU Cipta Kerja

Hakim Konstitusi Saldi Isra  Luar Biasa Kritis Membongkar Rahasia  Dibalik Proses Pembentukan UU Cipta Kerja

Harris Manalu, S.H.: Ketua LBH KSBSI

KSBSI.ORG, Jakarta - Mahkamah Konstitusi telah melaksanakan sidang lanjutan pemeriksaan terhadap 6 perkara atau permohonan uji formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pada Kamis, 17 Juni 2021. Perkara itu antara lain perkara Nomor 103/PUU-XVIII/2020 yang diajukan KSBSI. Sidang ini mendengar keterangan DPR dan Presiden/Pemerintah. Keterangan tertulis dan lisan DPR diwakili kuasanya Arteria Dahlan. Keterangan Presiden dibacakan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mewakili kuasa Presiden 11 Menteri.

Baca juga:  Gelar Ngopi Bareng, Kemnaker Bahas Isu Ketenagakerjaan ,

Setelah DPR dan Presiden/Pemerintah menyampaikan keterangannya, beberapa Hakim Mahkamah Konstitusi seperti Saldi Isra, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, Arief Hidayat mengajukan pertanyaan kritis dan maha penting. Hakim itu ingin membongkar segala rahasia dibalik proses pembentukan UU Cipta Kerja mulai dari proses persiapan naskah akademik sampai dengan pasca pengesahan persetujuan bersama Presiden dan DPR dalam sidang Paripurna DPR tanggal 5 Oktober 2020.

Hakim Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. Saldi Isra S.H., M.P.A., meminta kepada Presiden/Pemerintah dan DPR untuk memberi penjelasan yang konkrit dan bukti sebanyak 14 hal besar dan penting. Dia meminta, Pertama, supaya Pemerintah menjelaskan dan membuktikan bahwa pembentukan UU Cipta melalui metode omnibus law sesuai dengan hukum positip yang berlaku sekarang ini, yaitu UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana yang telah diubah dengan UU No. 15/2019. Dia mengatakan, dalam naskah akademik yang disampaikan kepada Mahkamah tidak ada penjelasan yang mengaitkan kesesuaian metode omnibus law dengan Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Pertanyaan ini membuktikan bahwa menurut Prof. Saldi Isra dan beberapa Hakim Mahkamah lainnya, metode omnibus law tidak dapat diterapkan membentuk peraturan perundang-undangan, dalam hal ini UU Cipta Kerja. Metode omnibus law dapat diterapkan jika DPR dan Pemerintah terlebih dahulu mengubah atau mengamandemen hukum positip yang berlaku saat ini, yaitu UU No. 12/2011 sebagaimana yang telah diubah dengan UU No. 15/2019. 

Kedua, dia juga meminta supaya Pemerintah menjelaskan dan membuktikan, selain Pemerintah, siapa saja stake holder yang diundang Pemerintah dalam mempersiapkan naskah akademik RUU Cipta Kerja. 

Dari pertanyaan ini dapatlah kita duga bahwa dari bukti-bukti yang telah diajukan Pemerintah kepada Mahkamah, tidak ada bukti bahwa Pemerintah melibatkan akademisi  hukum melakukan kajian akademik terhadap naskah akademik RUU Cipta Kerja.

Ketiga, diminta juga supaya Pemerintah menjelaskan dan membuktikan dimana dalam naskah akademik yang menjelaskan berapa banyak pendelegasian kepada peraturan yang lebih rendah.  Menurut dia, jangan-jangan UU ini sederhana, tapi pendelegasiannya atau peraturan turunannya, seperti Peraturan Pemerintah menjadi tidak sederhana. 

Pertanyaan dan permintaan ini sangat berat bagi Pemerintah untuk menjelaskan dan  membuktikannya. Kita yakin, Prof. Saldi Isra telah membaca secara cermat naskah akademik RUU Cipta Kerja, tapi dia tidak menemukan adanya penjelasan tentang berapa peraturan perundangan-undangan, seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dalam naskah akademik. Logika hukum Saldi Isra pastilah berkesimpulan UU Cipta Kerja ini tidak terbukti menyederhanakan regulasi tapi justru menjadi rumit. Banyak dilansir media online Pemerintah harus membentuk Peraturan Pemerintah sekitar 493, Peraturan Presiden sekitar 19, dan beberapa Perda sebagai turunan UU Cipta Kerja.

Keempat, Prof. Saldi Isra juga meminta penjelasan yang elaboratif terkait adanya 5 versi naskah RUU Cipta Kerja. Dia menyatakan ada naskah versi 905 halaman yang disetujui dalam Sidang Paripurna tanggal 5 Oktober 2020, ada naskah versi 1.028 halaman yang diunggah di laman DPR, ada naskah versi 1.035 halaman tanggal 12 Oktober 2020 siang, ada naskah versi 812 halaman tanggal 12 Oktober 2020 malam, ada naskah versi 1.187 halaman tanggal 21 Oktober 2020.

Pertanyaan ini sangat kritis dan kontekstual. Mengapa terjadi perubahan halaman sampai 5 kali? Perubahan jumlah halaman pun sangat tidak masuk akal. Tanggal 12 Oktober 2020 malam masih berjumlah 812 halaman. Lalu 9 hari kemudian tanggal 21 Oktober 2020 menjadi 1.187 halaman. Terjadi penambahan 375 halaman. Karenanya, apapun argumentasi Pemerintah dan DPR tidak masuk akal 375 halaman itu hanya perubahan teknis atau perubahan font atau spasi tulisan. Kuat dugaan selama 9 hari inilah dilakukan penambahan pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja. Penambahan itu seperti Pasal 13, Pasal 14, Pasal 37 Bagian Kedua Bab IV UU Cipta Kerja dan Pasal 1, Pasal 51, Pasal 53, Pasal 57, Pasal 89A Bagian Kelima Bab IV UU Cipta Kerja. Padahal 8 pasal tersebut tidak ada dalam naskah akademik dan naskah RUU Cipta Kerja dan tidak pernah dibahas Tim Tripartit tanggal 10-23 Juli 2020. Inilah barangkali yang disebut pasal siluman?

Kelima, kepada DPR Prof. Saldi Isra meminta penjelasan dan bukti, bagaimana DPR mempersiapkan Daftar Inventarisasi Masalah dalam kurun waktu singkat terhadap sekitar 79 atau lebih undang-undang yang di omnibus law. Keenam, bagaimana cara klasterisasi persiapan Daftar Inventarisasi Masalah itu dilakukan oleh DPR?

Belum lagi membuat, membahas dan memperdebatkan DIM (Daftar Inventaris Masalah) sebanyak 6.752 sebagaimana diunggah di laman DPR. Bahkan dilansir Kompas.com, 6/10/2020, sebanyak 7,197 DIM. Namun DPR dan Presiden/Pemerintah telah melakukan persetujuan bersama tanggal 5 Oktober 2020 dalam Sidang Paripurna DPR. Padahal selama ini pembahasan RUU selalu memakan waktu bertahun-tahun.

Prof. Saldi Isra juga mengajukan pertanyaan dan meminta bukti kepada DPR terkait dengan peran DPD membahas RUU Cipta Kerja. Ketujuh, bagaimana DPR melibatkan DPD membahas UU ini. Karena diantara 79 UU yang di-omnibuslaw-kan ada sebagian yang menjadi kewenangan DPD. Kedelapan, buktikan penyampaian draf dari DPR ke DPD. Kesembilan, sampaikan bukti penyampaian pengantar musyawarah dari DPD kepada DPR yang diterima DPR. Kesepuluh, sampaikan bukti daftar inventarisasi masalah terkait dengan UU Ciptaker yang dibuat oleh DPD untuk dijadikan bagian yang akan dibahas ketika pembahasan bersama di DPR. Kesebelas, buktikan adanya penyampaian pendapat mini DPD sebelum dilakukan persetujuan bersama. Keduabelas, buktikan risalah kehadiran DPD ikut dalam pembahasan UU yang menjadi kewenangan DPD.

Pertanyaan Ketujuh s/d Keduabelas ini kita tunggu penjelasan DPD yang akan dipanggil Mahkamah menyampaikan keterangan. Namun dapat dipastikan DPR takkan mampu menyajikan bukti-bukti yang diminta. 

Ketigabelas, Prof. Saldi Isra juga menyatakan, bertanya dan meminta bukti kepada DPR bahwa menjelang tahap persetujuan ada fraksi yang WO (Walk Out). Di peraturan tatib DPR mengatur, kalau masih ada yang tidak sependapat,  dilakukan musyawarah. Kalau musyawarah tidak tercapai, pimpinan DPR bisa menentukan bagaimana orang yang tidak setuju itu. Nah, berikan gambaran apakah musyawarah dengan yang tidak sepakat itu dilakukan? Dan apa hasilnya?

Untuk terangnya pertanyaan Ketigabelas ini Mahkamah haruslah  memangil pihak yang WO, yaitu Fraksi Demokrat dan Fraksi PKS untuk didengar keterangannya.

Berikutnya Keempatbelas, Prof. Saldi Isra menyatakan, bertanya dan meminta bukti kepada DPR bahwa ada pengakuan Sekjen DPR bahwa ada beberapa koreksi yang dilakukan setelah persetujuan bersama terhadap draf yang dipersetujui bersama yang ketika itu dihadiri oleh Wakil Pemerintah Menko Perekonomian. Beri bukti, apa draf yang sudah disetujui bersama itu dan perubahan-perubahan teknis apa saja yang dilakukan? Apakah teknis atau substansi.

Pertanyaan Keempatbelas ini sangat terkait dengan pertanyaan Keempat kepada Pemerintah. Kuat dugaan bahwa yang dikoreksi adalah terkait substansi, bukan sekadar teknis. Hal itu dapat disimpulkan dari fakta jumlah halaman naskah RUU Cipta Kerja berubah-ubah sampai 5 versi. Ada 905 halaman, ada 1.028 halaman, ada 1.035 halaman, ada  812 halaman, ada 1.187 halaman. Bahkan jumlah naskah terakhir bertambah sebanyak 375 halaman. Sehingga kuat dugaan perubahan itu bukan sekadar perubahan teknis semata, bukan perubahan ukuran kertas, dan bukan perubahan ukuran font, melainkan perubahan substansi dengan memasukkan pasal-pasal yang tidak ada dalam naskah akademik, RUU Cipta Kerja, dan tidak pernah dibahas baik oleh Tim Tripartit, internal Pemerintah, internal DPR maupun Pemerindan bersama DPR.

“Lex rejicit superflua, pugnantia, incongrua – Hukum menolak hal yang bertentangan dan tidak layak”.


Komentar