Konvensi ILO 190 Dan Sebab Mangkraknya Kekerasan Pelecehan Seksual Di Tempat Kerja

Konvensi ILO 190 Dan Sebab Mangkraknya Kekerasan Pelecehan Seksual Di Tempat Kerja

Sulistri SH MH, Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Pusat Federasi Serikat Buruh Makanan Minuman Pariwisata Restoran Hotel dan Tembakau (DPP FSB Kamiparho)

Bagi buruh yang menjadi korban pelecehan seksual, kerap kesulitan untuk memproses kasus-kasus tersebut karena berbagai persoalan yang membuat banyak kasus kekerasan dan pelecehan seksual menjadi “Mangkrak” alias tidak bisa dituntaskan.

Baca juga:  Dalam waktu Dekat Ini, ILO Rilis Laporan Perlindungan Sosial Dunia,

KSBSI.org,JAKARTA – Diskriminasi dan isu Kekerasan seksual di dunia kerja masih menjadi isu krusial yang terus dibahas aktivis perburuhan untuk mencari cara bagaimana melindungi buruh dari perlakuan diskriminasi, kekerasan dan pelecehan seksual di tempat kerja.

Sulistri SH MH, Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Pusat Federasi Serikat Buruh Makanan Minuman Pariwisata Restoran Hotel dan Tembakau (DPP FSB Kamiparho) afiliasi dari Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) mengatakan, sebetulnya peran pemerintah dalam hal melindungi pekerja atau buruh perempuan sudah cukup baik.

“Karena sudah ada beberapa peraturan perundang-undangan, terutama UU Ketenagakerjaan No 13 tahun 2003 yang melindungi buruh dari diskriminasi. Pasal 5 dan Pasal 6 itu juga mensyaratkan adanya pengupahan yang sama, baik untuk buruh laki-laki maupun perempuan,” terangnya kepada Kantor Berita Buruh di Kantor Pusat DPP FSB Kamiparho-KSBSI, Jakarta, Selasa (7/9/2021).

Selain UU Ketenagakerjaan, menurut Sulistri, sekarang juga dibahas rancangan undang undang penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) di tingkat nasional.

“Kemudian di tingkat internasional pemerintah juga sudah meratifikasi beberapa konvensi ILO seperti Konvensi ILO nomor 100 tentang pengupahan yang sama untuk jenis pekerjaan yang sama, konvensi ILO nomor 111 tentang diskriminasi atau non diskriminasi, kemudian juga pemerintah ikut mendukung adopsi konvensi ILO nomor 190 terkait dengan kekerasan berdasarkan gender atau ‘gender base violence‘.

“Nah sekarang ini kita sedang meminta atau mendorong pemerintah untuk meratifikasi konvensi ILO nomor 190 bersama-sama dengan elemen konfederasi lainnya, kawan-kawan LSM dan elemen pergerakan lain,” papar Sulistri.

Kendati begitu, Sulistri mengakui pada saat ini, adopsi yang dilakukan pemerintah baru sebatas bahwa pemerintah Indonesia dan juga wakil dari buruh itu mendukung konvensi ILO 190 untuk diadopsi menjadi intrumen internasional atau menjadi ‘konvensi’.

“Tahap berikutnya masih panjang.. kalau itu ingin dijadikan sebagai peraturan perundang-undangan di tingkat nasional, negara anggota ILO itu harus meratifikasi dulu. Meratifikasi konvensi ILO 190 untuk diadopsi sebagai peraturan perundangan di tingkat nasional.” terangnya.

Jadi tidak serta merta ketika ILO di dalam Konferensi perburuhan internasional, mengadopsi, menyetujui atau mensahkan konvensi ILO 190, langsung berlaku bagi semua negara anggota ILO? “ya Tidak. Jadi itu hanya berlaku bagai negara anggota ILO yang sudah meratifikasi konvensi tersebut.” kata aktivis yang sempat dua periode menjadi Deputi Presiden Bidang Program DEN KSBSI ini.

Diketahui, Organisasi Buruh Internasional (ILO) mencatat, resiko kekerasan dan pelecehan Seksual bahkan lebih tinggi selama masa krisis, wabah COVID-19 telah menjadi pengingat suram mengenai hal ini. Untuk itu, mengatasi kekerasan dan pelecehan di dunia kerja telah menjadi prioritas bagi ILO dan upaya di bidang ini menjadi semakin relevan dibandingkan sebelumnya.

Pada Tahun 2019, Konferensi Perburuhan Internasional (ILC) mengadopsi Deklarasi Satu Abad ILO untuk Pekerjaan Masa Depan, yang mengekspresikan dengan komitmen yang jelas terhadap dunia kerja yang bebas dari kekerasan dan pelecehan. ILC juga mengadopsi standar pertama tentang penghapusan kekerasan dan pelecehan di dunia kerja, yaitu Konvensi Kekerasan dan Pelecehan ILO No. 190 (dikenal sebagai Konvensi ILO 190) dan Rekomendasi yang menyertainya (No. 206).

Sejauh ini pemerintah dan DPR RI terus didorong untuk segera meratifikasi Konvensi ILO 190 sebagai upaya untuk segera membuat kebijakan nasional untuk menghentikan pelecehan dan kekerasan yang sering terjadi di dunia kerja.

Faktor Mangkraknya kasus-kasus Kekerasan dan Pelecehan

Menanggapi Implementasi penegakan hukum untuk pelecehan dan kekerasan seksual di tempat, Sulistri mengatakan, sebetulnya penegakan hukum dan sanksi bagi pelaku pelecehan dan kekerasan seksual sebenarnya sudah ada, baik perdata maupun pidana.

Hanya persoalannya, menurut Sulistri, bagi buruh yang menjadi korban pelecehan seksual, kerap kesulitan untuk memproses kasus-kasus tersebut karena berbagai persoalan yang membuat banyak kasus kekerasan dan pelecehan seksual menjadi “Mangkrak” alias tidak bisa dituntaskan.

Dari mulai tidak ada saksi mata, mahalnya visum et repertum, ketidaktahuan buruh, budaya menyalahkan sampai pelaku yang dianggap berkuasa di tempat kerja. Sulistri mengupas satu persatu kendala yang membuat kasus-kasus kekerasan dan pelecehan seksual itu mangkrak.

Saksi mata kerap menjadi kendala sebab syarat hukum di Indonesia bahwa kasus dapat diproses jika memenuhi unsur dua alat bukti. Buruh yang menbjadi korban kerap kesulitan karena tidak ada saksi mata yang melihat terjadinya pelecahan.

Kemudian enggannya korban melakukan visum karena mahalnya biaya. Sebab Visum yang semula ditanggung BPJS Kesehatan, kini sudah tidak ditanggung lagi, sehingga banyak korban kekerasan atau pelecehan seksual keberatan dengan biaya yang harus ditanggung.

Bukan cuma itu, budaya ‘menyalahkan korban’ juga kerap jadi batu sandungan bagi korban. Bahkan di beberapa daerah, menurut Sulistri masih ada budaya menyalahkan korban, misalnya korban yang bekerja dengan berpakaian seksi kerap disalahkan karena dinilai mengundang syahwat.

“Padahal ketika berpakaian seksi, kita nya nyaman, seharusnya nggak ada hak orang lain untuk melecehkan kita,” kata Sulistri. Faktor budaya menyalahkan korban juga membawa pengaruh bagi si korban untuk tidak melapor. “Di Indonesia itu masih kental dengan budaya menyalahkan korban.” katanya.

Bahkan ada yang menganggap apa yang dialami korban merupakan ‘aib’ bagi keluarga. Misalnya jika itu dilakukan oleh pelaku dari keluarga yang terhormat secara adat.

Selain persoalan di atas, Sulistri kerap menemukan persoalan lain yang menyoal kekuasaan pelaku di tempat kerja yang membuat buruh takut melapor. Biasanya buruh yang menjadi korban takut melapor karena tidak mau di PHK, takut kontraknya tidak diperbarui atau diperpanjang.

“Karena berbicara pelecehan itu sangat erat kaitannya dengan relasi kuasa. jadi siapa yang berkuasa itu yang punya kuasa juga untuk melakukan pelecehan. Sebab kalau yang tidak punya kuasa, mana berani dia melakukan pelecehan kan,” urainya.

Eks Ketua Departemen Buruh Perempuan dan Anak ini juga menyinggung soal kebiasaan pelaku pelecehan dan kekerasan seksual yang lebih memilih korban yang dianggapnya lemah dan tidak mempunyai relasi yang kuat. “Pelaku pasti melakukannya kepada yang lebih lemah, sehingga korban tidak berdaya untuk melakukan perlawanan,” tandasnya.

“Jadi sekali lagi, walaupun undang-undangnya bagus, penegakan hukumnya bagus, tapi juga pola pikir dari masyarakat itu juga harus berubah.” kata Sulistri.

Inilah yang menjadi dasar bagaimana aktivis perburuhan terus mendorong para buruh untuk berani mencegah terjadinya kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. Mendorong pemerintah dan DPR RI untuk segara meratifikasi konvensi ILO 190 dan mensahkan RUU PKS menjadi undang-undang. Demikian Sulistri.  [REDKBB]

Komentar