Revisi UU Nomor.21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja, Apa Sekadar Pencitraan Politik?

Revisi  UU Nomor.21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja, Apa Sekadar Pencitraan Politik?

Harris Manalu, S.H.: Ketua LBH KSBSI

KSBSI.org, JAKARTA-Harris Manalu Ketua Lembaga Bantuan Hukum Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (LBH KSBSI) mengatakan wacana revisi Undang-Undang (UU) Nomor.21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh harus dikaji secara jernih. Dia mengatakan, beberapa waktu lalu Presiden KSBSI Elly Rosita Silaban bersama dirinya diundang Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk diskusi serap aspirasi terkait undang-undang tersebut.

Baca juga: 

“Menurut saya, waktu kami diundang DPD untuk diskusi wacana revisi UU Nomor.21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh kurang tepat. Karena urusan revisi undang-undang terkait  ketenagakerjaan, lembaga ini memang tidak ada wewenangnya,” ucap Harris, saat diwawancarai di Kantor KSBSI, Cipinang Muara Jakarta Timur, Kamis (23/6/2022).

Harris juga berpendapat,  kalau pun hendak direvisi karena dianggap menghambat investasi, sebaiknya digabungkan saja dalam produk omnibus law. Sehingga produk undang-undang yang ada kaitan dengan ketenagakerjaan diikutsertakan.

“Saya jadi curiga, siapa yang bermain dalam kepentingan politik ini? Karena lembaga DPD juga tidak ada wewenang mengajukan revisi. Bahkan sejak terbitnya undang-undang ini belum pernah didemo serikat buruh,” jelasnya.

Kalau pun dilakukan revisi, Haris mengatakan buruh meminta ketegasan tentang pengaturan pemberangusan serikat buruh (union busting) dalam Pasal 28 junto Pasal 43 dalam UU Nomor.21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Kedua pasal ini memang menjadi polemik bagi serikat buruh sampai saat ini. Karena tidak tegas tentang seperti apa sanksi terkait tafsir menghalang-halangi kebebasan serikat buruh di perusahaan.  

Bahkan, saat pengurus serikat buruh melaporkan kasus union busting tingkat perusahaan ke Polres atau Polda, justru proses hukumnya jarang ditindaklanjuti. Kepolisian selalu membuat argumentasi, laporan yang disampaikan harus memiliki bukti kuat. Seperti bukti mutasi sampai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), akibat latar belakang tuntutan upah layak dan pembuatan Perjanjian Kerja Bersama (PKB).

“Dugaan saya, DPD mewacanakan revisi undang-undang ini untuk pencitraan politik mereka saja didaerah pemilihannya. Biar seolah-olah saat mereka kampaye pada Pemilu 2024 nanti dianggap sudah memihak buruh. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga belum ada mengundang KSBSI untuk dialog soal revisi,” terangnya.

Sejauh ini, ia menegaskan KSBSI tetap mendesak agar mencabut kluster ketenagakerjaan dari omnibus law UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Lalu mendesak pemerintah membuat omnibus law khusus seluruh aturan undang-undang ketenagakerjaan.

“Jika pemerintah mau membuat omnibus law khusus undang-undang ketenagakerjaan, saya yakin semua serikat buruh/serikat pekerja mendukung. Sebab, sejak awal kami memang tidak mau kluster ketenagakerjaan dicampuradukan dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja,” imbuhnya.

Walau revisi UU Nomor.21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh masih tahap wacana, Haris mengatakan LBH KSBSI akan terus memantau perkembangannya. Sebab, serikat buruh tidak mau kecolongan. Karena kasus dalam pembuatan draf undang-undang maupun revisi, banyak pasal- pasal yang sengaja dihilangkan atau dirubah. Sehingga akhirnya merugikan buruh saat disahkan.  

Ia juga berpesan semua pengurus dan anggota KSBSI diberbagai daerah terus berjuang dan bersikap kritis pasca disahkannya UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Sebab dampaknya telah mendegradasi hak buruh di dunia kerja.

“Kalau aktivis serikat buruh tidak mampu melakukan pendampingan advokasi dan mengedepankan dialog sosial dengan perusahaan, maka minat buruh akan semakin menurun di Indonesia,” tandasnya. (AH) 

Komentar