Pendapat Hakim Berbeda-Beda Atas UU Cipta Kerja

Pendapat Hakim Berbeda-Beda Atas UU Cipta Kerja

(Harris Manalu, S.H, Ketua LBH KSBSI/foto-TW).

KSBSI.org, JAKARTA-Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan dengan menyatakan proses pembuatan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU 11/2020) inkonstitusional atau bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Putusan MK itu kontroversial, teristimewa klaster ketenagakerjaan. Kontroversialnya terletak pada pertanyaan, jika proses pembuatannya sudah bertentangan dengan UUD 1945, apakah UU 11/2020 masih berlaku atau tidak? Pemerintah menyatakan berlaku.

Baca juga:  PERMENPAN-RB Terbit, Mediator Hilang 50 % Buruh Semakin Menderita,

Pengusaha bersikap mendua. Pasal-pasal yang menguntungkan, seperti hak pesangon bagi karyawan tetap diberlakukan, namun pasal-pasal lain, seperti uang kompensasi bagi karyawan kontrak disikapi sebagian pengusaha tidak diberlakukan. Kalangan pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh serta sebagian akademisi hukum tata negara menyatakan tidak berlaku.

Sikap Mahkamah Agung sebagai lembaga

Atas terjadinya kontroversi itu, terkait dengan perselisihan  hubungan industrial Mahkamah Agung (MA) mengambil sikap dengan menyatakan UU 11/2020 dan peraturan turunannya, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP 35/2021) berlaku. Sikap itu dituangkan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2021, tanggal 28 Desember 2021 (SEMA 5/2021).

Pada huruf B, angka 2, huruf b, angka 3a) dan 3b) SEMA 5/2021 dinyatakan begini:

3a) Gugatan perselisihan hubungan industrial yang diajukan sebelum dikeluarkan peraturan pemerintah sebagai pelaksana dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja berlaku ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

3b)  Gugatan  perselisihan   hubungan  industrial yang diajukan dan telah diperiksa oleh pengadilan hubungan industrial, kemudian terbit peraturan pemerintah sebagai pelaksana Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tetap diperiksa berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 

 

Intinya begini. Kita ingat dulu, PP 35/2021 mulai berlaku tanggal 2 Februari 2021. Jika gugatan perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) sebelum tanggal 2 Februari 2021, maka hakim masih mengadili gugatan/perkara itu berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU 13/2003). Sebaliknya, jika gugatan didaftarkan pada tanggal 2 Februari 2021 dan tanggal-tanggal setelahnya maka gugatan/perkara diadili berdasarkan ketentuan PP 35/2021. Jadi ukurannya tanggal mendaftarkan gugatan.

Sikap hakim atas mahkotanya

Putusan hakim merupakan “mahkota” sekaligus “puncak” dan “akta penutup” pencerminan nilai-nilai keadilan, kebenaran, penguasaan hukum dan fakta, etika serta moral dari hakim bersangkutan, tulis Nurlen Afriza dalam website MA.

Membaca beberapa putusan hakim atau pengadilan terdapat 2 aliran pendapat hakim peradilan hubungan industrial, baik pada PHI maupun MA. Aliran pertama mematuhi, dan aliran kedua menolak SEMA 5/2021.

Contoh aliran patuh SEMA

Pertama, Putusan MA Nomor 1257 K/Pdt.Sus-PHI/2022, tanggal 11 Agustus 2022. Gugatan didaftarkan tanggal 7 Februari 2022 karenanya menurut hakim gugatan diperiksa dan diputus berdasarkan UU 11/2020 jo. PP 35/2021. Karena PHK kategori efisiensi untuk mencegah kerugian, maka para pekerja (para penggugat) dinyatakan hanya berhak mendapat kompensasi sesuai ketentuan Pasal 43 ayat (2) PP 35/2021 (uang pesangon 1 kali).

Kedua, Putusan MA Nomor 919 K/Pdt.Sus-PHI/2022, tanggal 22 Juni 2022. Putusan ini mengubah besaran hak pekerja dari yang telah diputus PHI Bandung dalam putusan Nomor 295/Pdt.Sus-PHI/2021/PN Bdg, tanggal 9 Februari 2022 berdasarkan ketentuan Pasal 161 UU 13/2003 (uang pesangon 1 kali) menjadi berdasarkan ketentuan Pasal 52 ayat (1) PP 35/2021 (uang pesangon 0,5 kali). Pengurangan ini secara terang disebut dalam pertimbangan hukum sesuai SEMA 5/2021.

Contoh aliran menolak SEMA

Pertama, Putusan PHI Jakarta Pusat Nomor 76/Pdt.Sus-PHI/2022/PN.Jkt.Pst, tanggal 10 Agustus 2022. Atas alasan asas non retroaktif hakim menolak memberlakukan SEMA 5/2021. Hakim tetap memberlakukan ketentuan UU 13/2003, yaitu PHK karena efisien berhak memperolak uang pesangon 2 kali, uang penghargaan masa kerja 1 kali dan uang penggantian hak 15%.

Begini inti pertimbangan hukum majelis hakim untuk menolak pemberlakuan UU 11/2020 dan PP 35/2021 berdasarkan SEMA 5/2021:

Mengingat UU 11/2020 diundangkan tanggal 2 November 2020 dan PP 35/2021 diundangkan (berlaku) tanggal 2 Februari 2021, berdasarkan asas non retroaktif yang berlaku secara universal yang dijamin oleh ketentuan Pasal 28 huruf I UUD 1945 yang pada pokoknya mengatur larangan hukum berlaku surut kecuali mengenai hak asasi manusia, yang demikian sesuai dengan doktrin hukum Prof. Purnadi Purbacaraka dan Prof. Dr. Soerjono Soekanto dalam bukunya “Perundang-Undangan dan Yurisprudensi” bahan PTHI (Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1993) halaman 7-11, yang pada pokoknya menjelaskan arti dari asas non retroaktif adalah Undang-Undang hanya boleh dipergunakan terhadap peristiwa yang disebut dalam undang-undang tersebut dan terjadi setelah undang-undang itu dinyatakan berlaku, karenanya majelis hakim berpendirian penyelesaian perselisihan PHK a quo haruslah tetap mengacu pada ketentuan UU 13/2003.

Sayangnya putusan PHI Jakarta Pusat Nomor 76/Pdt.Sus-PHI/2022/PN.Jkt.Pst  ini masih dalam tahap pemeriksaan di tingkat kasasi, belum berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). Kita tunggu seperti apa majelis hakim kasasi menyikapi pertimbangan hukum atau putusan ini.

Kedua, Putusan MA Nomor 503 K/Pdt.Sus-PHI/2022 tanggal 14 April 2022. Putusan ini menguatkan Putusan PHI Jakarta Pusat Nomor 130/Pdt.Sus.PHI/2021/PN.Jkt.Pst, tanggal 4 Oktober 2021. Gugatan didaftarkan di PHI Jakarta Pusat tanggal 25 Maret 2021 (data SIPP PN Jakarta Pusat). Pengusaha dalam gugatan rekonvensinya, meminta kepada PHI agar hak pekerja/buruh atas terjadinya PHK atas alasan efisiensi didasarkan pada ketentuan Pasal 43 ayat (1) PP 35/2021, yaitu uang pesangon sebesar 0,5 kali dan uang penghargaan masa kerja 1 kali, tanpa uang penggantian hak 15%.  Namun majelis hakim menolak permintaan pengusaha dengan mendasarkan perhitungan hak pekerja pada ketentuan Pasal 164 ayat (3) UU 13/2003, yaitu uang pesangon 2 kali, uang penghargaan masa kerja 1 kali, dan uang penggantian hak 15%.

Untuk memperkuat argumentasi hukumnya, Putusan MA Nomor 503 K/Pdt.Sus-PHI/2022 jo. Putusan PHI Jakarta Pusat Nomor 130/Pdt.Sus.PHI/2021/PN.Jkt.Pst ini juga menjadi rujukan majelis hakim dalam memutus perkara dalam Putusan PHI Jakarta Pusat Nomor 76/Pdt.Sus-PHI/2022/PN.Jkt.Pst di atas.

Jalan tengah

Untuk terwujudnya keadilan, bagi hakim yang sampai sekarang mematuhi SEMA 5/2021, yaitu memeriksa, mengadili dan memutus perkara/perselisihan hubungan industrial berdasarkan UU 11/2020 dan  PP 35/2021, hak-hak pekerja/buruh berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak 15% dapatlah dihitung berdasarkan 2 masa keberlakuan undang-undang, yaitu masa UU 13/2003 dan masa UU 11/2020 jo. PP 35/2021.

Bagi pekerja/buruh yang mengalami PHK hari ini, 5 September 2022, yang masa kerjanya dimulai misalnya sejak tanggal 2 Januari 2000, maka perhitungan pesangonnya dibagi dalam 2 periode, yaitu periode pertama sejak tanggal 2 Januari 2000 s/d 1 Februari 2021 berdasarkan UU 13/2003 dan ditambah dengan periode kedua sejak tanggal 2 Februari 2021 s/d 5 September 2022 berdasarkan ketentuan PP 35/2021. Sedangkan bagi pekerja/buruh yang mengalami PHK hari ini, 5 September 2022, yang masa kerjanya dimulai sejak tanggal 2 Februari 2021 berlaku utuh ketentuan PP 35/2021.

Penghitungan pesangon dalam 2 masa keberlakuan undang-undang ini dapat ditiru dari negara China yang pada tahun 2008 melakukan perubahan atas undang-undang ketenagakerjaannya, khususnya tentang besaran pesangon. Perhitungan pesangon dibagi menjadi 2 periode, yaitu periode pertama sebelum tanggal 1 Januari 2008 (pesangon lebih besar) dan periode kedua sejak perubahan undang-undang tanggal 1 Januari 2008 (pesangon lebih kecil)

(Harris Manalu, S.H, penulis adalah Ketua LBH KSBSI).


 

Komentar