KSBSI.org, JAKARTA-Ida Fauziyah Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) baru saja memberikan pernyataan resmi lewt akun Youtube pada Sabtu (19/11/2022) tentang penetapan upah. Serta menerbitkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum 2023. Dia menegaskan, Permenaker ini memiliki legalitas kuat. Dan PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang pengupahan tak lagi menjadi acuan penentuan upah minimum. Karena belum memasukkan komponen dampak kenaikan inflasi.
Baca juga: Presiden KSBSI Serukan Kontrak Sosial Baru dan Isu Perubahan Iklim di Opening of L20 Summit Indonesia 2022, Ditemui Pihak Istana Merdeka, Perwakilan Massa Aksi KSBSI Sampaikan Tuntutannya,
Lewat video
YouTube yang diunggah pada Sabtu, 19 November 2022, Menaker Ida menjelaskan
kenaikan upah minimum provinsi (UMP) dan upah minimum kabupaten dan kota (UMK)
akan berlaku pada 1 Januari 2023.
"Penetapan
upah minimum kabupaten dan kota (UMK) dengan melalui formula PP Nomor 36 Tahun
2021 belum semuanya bisa mengakomodasi dampak dari kondisi sosial ekonomi
masyarakat. Sebab upah minimum tidak seimbang dengan laju kenaikan harga-harga
barang sekarang ini,” ucap Ida.
Sebelumnya,
pemerintah menyampaikan penetapan UMP awalnya 21 November 2021, namun akhirnya
diundur menjadi Senin 28 November 2022. Termasuk, dalam penetapan UMK yang
rencana awalnya diumumkan pada 26 November 2022, juga diundur paling lambat 7 Desember
2022.
“Dengan adanya
penetapan upah secara resmi ini, pemerintah daerah memiliki waktu untuk
merumuskan dan menghitung upah minimum
sesuai dengan formula baru Permenaker Nomor 18 Tahun 2022,” ujarnya.
Selain itu,
Ida Fauziyah juga menyampaikan, jika kenaikan upah minimum provinsi (UMP) pada
2023 maksimal hanya sebesar 10 persen. Kenaikan sebesar itu, menurutnya sudah
dipertimbangkan berdasarkan survei kebutuhan hidup layak serta kondisi sosial
ekonomi di setiap daerah.
“Formulasi
penghitungan upah ini sudah berdasarkan pertimbangan variabel pertumbuhan
ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu,” jelasnya.
Sebelumnya,
Elly Rosita Silaban Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia
(KSBSI) saat aksi demo buruh pada 28 Oktober lalu menegaskan menolak penetapan
upah minimum 2023 depan berdasarkan PP nomor 36 tahun 2021. Pasalnya, PP
tersebut merupakan produk turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun
2020 yang sedang bermasalah.
“Atau tepatnya
UU Cipta Kerja sedang dalam perbaikan atas putusan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia yang menyatakan inkonstitusional bersyarat,” terangnya.
Oleh sebab
itu, KSBSI menyarankan, dalam penetapan upah minimum 2023, sebaiknya pemerintah
mengacu pada PP No 78 tahun 2015. Elly juga menerangkan serikat buruh yang
dipimpinnya telah merekomendasikan kenaikan upah minimum 2023 sebesar 10 sampai
11 persen.
“Rekomendasi
perhitungan upah minimum ini kami lakukan sudah menggunakan data inflasi dan
pertumbuhan ekonomi di hingga akhir Agustus. Dan KSBSI masih terus melakukan
pendataan dan riset untuk menjadi basis penguatan tuntutan kenaikan upah
minimum 2023,” pungkasnya.(*)