Serikat Pekerja/Serikat Buruh Ramai-ramai Tolak Program Tapera

Serikat Pekerja/Serikat Buruh Ramai-ramai Tolak Program Tapera

foto ilustrasi

Sejumlah konfederasi serikat pekerja/serikat buruh menolak implementasi program Tapera.

Baca juga:  Presiden KSBSI Apresiasi Atas Peluncuran Aplikasi Pengaduan bagi Pekerja Sektor Garmen,


KSBSI.ORG, JAKARTA - Serikat pekerja/serikat buruh ramai-ramai menolak berlakunya PP Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat. Substansi isi PP yang mewajibkan semua pekerja swasta dan mandiri ikut mengiur pada program tabungan perumahan rakyat dianggap menambah beban pekerja.

Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), Elly Rosita, Selasa (28/5/2024), di Jakarta dikutip dari kompas.id, mengatakan, seluruh anggota KSBSI di 24 provinsi menolak PP Nomor 21 Tahun 2024 karena selama ini beban buruh sudah berat.

“Ada potongan jaminan sosial kesehatan, jaminan sosial ketenagakerjaan, pajak, dan potongan lain-lain. Belum lagi persoalan UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan yang belum tuntas. Ini saja sudah banyak beban,” ujar dia.

Elly juga menceritakan, mayoritas anggota KSBSI sudah memiliki rumah. Jika diwajibkan mengiur program tabungan perumahan rakyat (Tapera), itu akan memberatkan. “Walau potongan 2,5 persen. Kami tolak,” kata Elly.

Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (ASPEK) Indonesia Mirah Sumirat, pada hari yang sama, menyatakan, ASPEK, menolak. Sejak UU Cipta Kerja, kenaikan upah minimum cenderung semakin rendah. Harga pangan naik.

Fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) pun masih marak. Sudah banyak pekerja hidup dari makan tabungan. “Kondisi ekonomi pekerja sedang tidak baik-baik saja. Tolong (pemerintah) batalkan saja PP Nomor 21 Tahun 2024,” ucap dia.

Mirah menceritakan, para serikat pekerja sebenarnya sudah menolak wacana program Tapera diwajibkan bagi pekerja swasta dan mandiri sejak UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tapera disahkan. Kala itu, Mirah yang menjadi Wakil Ketua Lembaga Kerja Sama Tripartit Nasional dari unsur pekerja menyatakan menolak. Kalaupun mau dibuat peraturan turunan UU Nomor 4 Tahun 2016, serikat pekerja harus dilibatkan.

“Mengapa pemerintah tidak memaksimalkan saja subsidi perumahan? Mengapa setiap kali membuat kebijakan yang berdampak kepada pekerja, para serikat pekerja tidak dilibatkan?” ujar Mirah.

Gegabah

Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Sunarno, menyampaikan sikap penolakan yang sama seperti Elly dan Mirah. Unsur serikat pekerja dan buruh tidak pernah diajak dialog tentang PP Nomor 21 Tahun 2024. Artinya, pemerintah memutuskan PP itu secara sepihak.

Ia menilai, pemerintah gegabah mengesahkan PP Nomor 21 Tahun 2024 dan tidak memahami kesulitan sebagian besar pekerja. Gaji bersih sebagian pekerja saat ini tidak besar.

Sebagai ilustrasi, pekerja harus terima jika gajinya dipotong untuk iuran jaminan sosial kesehatan (1 persen), jaminan hari tua (2 persen), jaminan pensiun (1 persen), pajak penghasilan (5 persen dari pendapatan tidak kena pajak), dan potongan koperasi (besaran variatif).

“Katakanlah, upah pekerja hanya Rp 2 juta per bulan. Lalu dipotong potongan tersebut. Kemudian, sisa gaji harus dipotong lagi untuk program Tapera yang mana pekerja pun tidak langsung mendapatkan rumah dalam waktu cepat,” kata dia.

Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar, mengatakan, pihaknya pun sudah menolak wacana mewajibkan pekerja swasta ikut program Tapera sejak 2016. Apalagi, beban pekerja sekarang cenderung semakin berat.

Implementasi PP Nomor 21 Tahun 2024, dia khawatirkan akan tumpang tindih dengan program manfaat layanan tambahan perumahan jaminan hari tua yang diatur dalam Permenaker Nomor 17 Tahun 2021 tentang perubahan atas Permenaker Nomor 35 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pemberian, Persyaratan, dan Jenis Manfaat Layanan Tambahan dalam Program Jaminan Hari Tua.

“Selama ini, belum banyak pekerja yang memanfaatkan program manfaat layanan tambahan perumahan yang tertuang dalam Permenaker Nomor 17 Tahun 2021. Penyebabnya berbagai macam, termasuk mekanisme mengakses yang tidak mulus. Urusan hunian pekerja semestinya pemerintah cukup menguatkan Permenaker Nomor 17 Tahun 2021,” kata Timboel.

Sementara itu, Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, Jumhur Hidayat, juga keberatan dengan PP Nomor 21 Tahun 2024. Dia lantas mengingatkan kasus Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan yang sempat rugi walaupun disebut kehilangan yang tidak terealisasi (unrealized loss) beberapa waktu lalu. Padahal, BPJS Ketenagakerjaan mengumpulkan iuran pekerja.

Dia memberikan ilustrasi. Misalnya, terdapat pekerja formal sebanyak 58 juta dengan upah rata-rata Rp 2,5 juta per bulan. Iuran program Tapera sebesar 3 persen dari nilai upah akan mengakumulasi dana sekitar Rp 58 triliun.

“Itu dana yang cukup besar. Ada potensi jadi ‘bancakan’ penguasa dengan cara digoreng-goreng di berbagai instrumen investasi,” kata Jumhur.

Presiden Joko Widodo menandatangani PP Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera pada 20 Mei 2024.

Pasal 5 PP Nomor 21 Tahun 2024 mengatur setiap pekerja dengan usia paling rendah 20 tahun atau sudah menikah yang memiliki penghasilan paling sedikit sebesar upah minimum diwajibkan menjadi peserta Tapera.

Kemudian, pada pasal 7, pekerja yang wajib menjadi peserta Tapera tidak hanya aparatur sipil negara dan TNI-Polri, serta pekerja badan usaha milik negara, melainkan termasuk karyawan swasta dan pekerja lain yang menerima gaji atau upah.

Pemerintah memberikan waktu untuk mendaftarkan para pekerjanya kepada Badan Pengelola (BP) Tapera paling lambat 7 tahun sejak tanggal berlakunya PP Nomor 25 Tahun 2020. Artinya ,pendaftaran itu harus dilakukan pemberi kerja paling lambat 2027.

(RED)

Komentar