KSBSI DKI Jakarta Siapkan Aksi Demo, Desak Pemerintah Hapus Aturan Tapera

KSBSI DKI Jakarta Siapkan Aksi Demo, Desak Pemerintah  Hapus Aturan Tapera

logo ksbsi

KSBSI.ORG, JAKARTA - Koordinator Wilayah Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (Korwil KSBSI) Provinsi DKI Jakarta siap melaksanakan aksi demonstrasi menolak Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (TAPERA) yang diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi), 20 Mei 2024.

Baca juga:  Serikat Pekerja/Serikat Buruh Ramai-ramai Tolak Program Tapera,

Aturan kontroversi tersebut juga didesak, bukan hanya sekedar dibatalkan semata, namun KSBSI juga bakal meminta pemerintah mencabut dan menghapusnya.

 

"Yaa kita tidak saja menolak, namun kita juga meminta pemerintah untuk segera membatalkan dan menghapus aturan Tapera," kata Alson dalam rapat konsolidasi aksi yang digelar bersama Federasi afiliasi KSBSI DKI Jakarta, Sabtu sore (8/6/2024).

 

Keputusan KSBSI DKI jakarta jelas senada dengan pernyataan sikap yang lebih dulu ditegaskan oleh Dewan Eksekutif Nasional (DEN) KSBSI pekan lalu yang menolak berlakunya aturan Tapera.

 

Berlakunya PP No.21 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 sebagai turunan dari UU Tapera telah mewajibkan semua pekerja swasta dipotong upahnya sebesar 2,5 persen dan pengusaha yang seolah dipaksa (diwajibkan) turut memberikan iuran sebesar 0,5 persen dari upah Buruh/Pekerja.

 

Pemotongan ini jelas memberatkan para buruh yang wajib dipotong upahnya sebesar 2,5 persen dan memberatkan pengusaha/pemberi kerja sebesar 0,5 persen dari upah buruh sehingga total potongan menjadi 3 persen yang diperuntukkan wajib bagi semua pekerja baik yang sudah punya rumah atau yang sedang mencicil rumah.

 

Menurut Alson, aturan Tapera yang memotong upah Buruh/Pekerja 2,5 persen teramat besar jika dibandingkan dengan kenaikan upah yang hanya naik sekitar 3,6 persen.  Belum lagi persoalan magang dan pekerja kontrak yang masih menjadi dilema perburuhan di Indonesia.

 

"Potongan Tapera jelas memberatkan Buruh dan Pekerja, terutama bagi pekerja Kontrak yang sewaktu-waktu bisa diputus kontaknya dan tidak lagi bekerja. Apakah dana tabungan itu bisa diambil?" ulasnya.

 

Sementara dari informasi yang Ia dengar, dana Tapera  baru bisa diambil kalau Buruh/Pekerja meninggal dunia, atau jika Buruh/Pekerja sudah tidak bekerja minimal 5 tahun?

 

"Belum lagi kalo ada persoalan dengan Buruh yang sudah memiliki rumah yang upahnya juga dipotong untuk Tapera. Terus dimana perumahan yang akan diperuntukan bagi program Tapera ini, terutama bagi Buruh yang tinggal di Jakarta?" ulasnya lebih jauh.

 

Dari beberapa fakta, kawasan perumahan yang siap huni berada di luar kota seperti Depok, Cibarusa atau daerah Cikarang yang tentu saja terbilang jauh dengan pusat industri di Jakarta. Jauhnya jarak tentunya berimbas pada tingginya biaya transportasi bagi Buruh dan Pekerja.

 

"Tidak ada urgensinya program ini bagi Buruh dan Pekerja," tegas Alson.

 

KSBSI dan Apindo Indonesia Tolak Tapera

 

Diketahui, sebelumnya, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan KSBSI merespon keras aturan Tapera yang diteken Jokowi. KSBSI dan Apindo sepakat menolak dan meminta pemerintah mengkaji ulang program Tapera. Hal itu disampaikan dalam konferensi pers bersama KSBSI dan Apindo Indonesia yang digelar di kantor DPP Apindo di Jakarta, Jum'at (31/05/2024) lalu.

 

Dalam konpers itu, Ketua Umum Apindo Shinta W. Kamdani mengungkapkan, dunia usaha pada dasarnya menghargai tujuan pemerintah untuk menjamin kesejahteraan pekerja. Namun Pihaknya sebagai representasi dunia usaha juga secara konsisten mendukung kesejahteraan pekerja dengan mendukung kebijakan bagi ketersediaan perumahan rakyat.

 

“Peraturan Pemerintah (PP) No.21/2024 yang ditandatangani Presiden Jokowi tanggal 20 Mei 2024 lalu, kami nilai sebagai duplikasi program existing, yaitu Manfaat Layanan Tambahan (MLT) perumahan pekerja yang berlaku bagi peserta program Jaminan Hari Tua (JHT) BP Jamsostek. Sehingga kami berpandangan Tapera dapat diberlakukan secara sukarela. Pekerja swasta tidak wajib ikut serta, karena pekerja swasta dapat memanfaatkan program MLT BP Jamsostek (BPJS Ketenagakerjaan),” ujar Shinta.

 

Apindo dan KSBSI juga sepakat menolak program teraebut dan meminta pemerintah mempertimbangkan kembali dan mengkaji ulang implementasi iuran Tapera.

 

Apindo dan KSBSI berharap pemerintah dapat lebih mengoptimalkan dana BPJS Ketenagakerjaan, dimana sesuai PP adalah sebesar maksimal 30 persen (Rp138 triliun). Karena Aset JHT sebesar Rp. 460 triliun dianggap bisa digunakan untuk program MLT perumahan bagi pekerja, mengingat ketersediaan dana MLT yang sangat besar dan dinilai belum maksimal pemanfaatannya.

 

Sementara itu, Presiden KSBSI Elly Rosita Silaban menganggap, pemerintah sebenarnya bisa memaksimalkan pemanfaatan dana MLT BPJS Ketenagakerjaan yang diperuntukkan bagi program kepemilikan rumah untuk pekerja yang belum memiliki tempat tinggal.

 

“Untuk itu, kami minta setidaknya pemerintah merevisi pasal 7 dari yang wajib menjadi sukarela. Penerapan Undang-Undang Tapera tidak menjamin bahwa upah buruh yang telah dipotong sejak usia 20 tahun dan sampai usia pensiun, untuk bisa mendapatkan rumah tempat tinggal. Belum lagi sistem hubungan kerja yang masih fleksibel (kerja kontrak), ini masih jauh dari harapan untuk bisa mensejahterakan buruh," kata Elly

 

"KSBSI menganggap Undang-Undang Tapera tidak mendesak, sehingga tidak perlu dipaksakan untuk berlaku saat ini," tambah Elly. Ia juga mengusulkan agar pemerintah tidak menjadikan keikutsertaan menabung di Tapera sebagai bentuk kewajiban tetapi hanya atas dasar sukarela.

 

Cabut UU P2SK

 

Selain polemik soal Program Tapera, KSBSI juga mengulas tuntutan aksi meminta pemerintah mencabut UU No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK),

 

Tuntutan pencabutan UU P2SK lebih dulu disuarakan KSBSI saat aksi memperingati May Day 1 Mei 2024 atau Hari Buruh Internasional. Dalam aksi itu, KSBSI secara khusus mengusung penolakan keras UU P2SK.

 

Undang undang ini, dinilai hanya akan melegitimasi pengelolaan Dana Jaminan Hari Tua (JHT) milik Buruh yang selama ini dikelola dengan baik oleh BPJS Ketenagakerjaan akan dialihkan kepada lembaga swasta non BUMN yang berpotensi bermasalah.

 

KSBSI menegaskan, JHT adalah dana milik Buruh dan bukan Milik Negara, sehingga tidak pantas jika dikelola oleh lembaga seperti Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) dan Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) yang notabene merupakan lembaga swasta, sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 4 Tahun 2023 tentang P2SK yang dinilai berpotensi merugikan pekerja buruh sebagai pemilik dana.

 

Menunggu Aksi Nasional

 

Senagaimana kesepakatan dalam rapat pleno KSBSI DKI Jakarta bersama DPC Federasi afiliasi KSBSI DKI Jakarta, yang dihadiri oleh Pengurus DPC FSB NIKEUBA DKI Jakarta, PK FSB NIKEUBA Trans Jakarta, DPC FSB KAMIPARHO DKI Jakarta, DPC FSB FKUI Jakarta Barat, DPC FSB KIKES DKI Jakarta, dan Jajaran pengurus Korwil DKI Jakarta, sepakat memutuskan siap melaksanakan aksi damai menolak UU P2SK dan menolak aturan Tapera yang rencanya akan digelar  pada Senin, 24 Juni 2024.

 

Namun begitu, menurut Alson, pihaknya masih menunggu putusan DEN KSBSI soal tanggal pasti aksi nasional Tolak Tapera ini. Demikian KSBSI. (RedKBB)

 


Komentar