Sebagai salah satu anggota, Elly Rosita Silaban berkesempatan melakukan pertemuan Dewan Buruh Energi Bersih International Energy Agency (IEA) di sela Konferensi Global ke-10 IEA.
Baca juga: Buruh KSBSI Desak Transparansi Pemerintah Mengenai Perundingan IEU-CEPA,
KSBSI.ORG Belgia - Presiden KSBSI, Elly Rosita Silaban menghadiri agenda 10th Annual Global Conference on Energy Efficiensy pada 12-13 Juni 2025 di Brussel Belgia.
Sebagai salah satu anggota, Elly Rosita Silaban berkesempatan melakukan pertemuan Dewan Buruh Energi Bersih International Energy Agency (IEA) di sela Konferensi Global ke-10 IEA.
"Hari ini, Pertemuan Dewan Buruh Energi Bersih IEA yang berlangsung di sela-sela Konferensi Global ke-10 IEA tentang Efisiensi Energi, dimana agenda ini diselenggarakan bersama oleh IEA dan Komisi Eropa." kata Elly Rosita Silaban saat dihubungi melalui panggilan telepon pada Jum'at (13/06/2025) waktu setempat.
Elly menjelaskan bahwa pertemuan ini terbuka bagi para pembuat kebijakan yang menghadiri Konferensi Global dan perwakilan dari Presidensi G20 dan COP30, untuk memastikan bahwa suara buruh didengar dalam forum multilateral.
"Ini adalah kesempatan untuk menyampaikan ide, makalah Dewan Buruh Energi Bersih IEA dan para anggota untuk berbagi perspektif mereka dalam memastikan transisi energi bersih yang adil." jelasnya.
Lebih lanjut, Elly Rosita menegaskan bahwa agenda ini merupakan ajang dan kesempatan yang baik dalam bertukar pikiran mengenai isu energi bersih.
"Kami juga mendapatkan informasi dari perwakilan Afrika Selatan dan Brasil tentang kemajuan kegiatan G20 dan COP30, dan berinteraksi dengan para pembuat kebijakan dari seluruh dunia mengenai topik transisi energi bersih." ungkap Elly.
Tantangan Energi Bersih di Indonesia
Dalam kesempatan tersebut, Elly Rosita juga berkesempatan memberikan intervensi, Dirinya menyoroti mengenai tantangan menuju energi bersih di Indonesia.
Menurut Elly, khususnya di negara asal saya Indonesia, dan juga terjadi di negara lain, tantangan utama dalam transisi menuju energi bersih berasal dari faktor-faktor berikut.
Meskipun banyak negara seperti Indonesia memiliki strategi untuk energi bersih, namun, tidak adanya keterlibatan pemangku kepentingan yang berarti dan inklusif telah menciptakan resistensi terhadap perubahan dan menghambat adopsi energi bersih, terutama dari daerah yang paling bergantung pada ekonominya pada industri ekstraktif, ragu-ragu untuk mendukung kebijakan nasional tentang transisi bersih.
Banyak regulasi yang lebih berfokus pada transisi energi fisik dalam bentuk pembangunan infrastruktur energi dan telah mengabaikan pentingnya pertimbangan sosial dan lingkungan.
Hal lain, perlu diperhatikan bahwa energi terbarukan memiliki biaya operasi yang rendah tetapi kebutuhan investasi modal yang tinggi, banyak negara berkembang berjuang dengan akses ke pembiayaan energi bersih menjadi alasan mengapa banyak negara terus bergantung pada bahan bakar fosil, terutama dengan tingginya permintaan mineral penting untuk kendaraan listrik.
Hal ini telah menyebabkan risiko kegagalan “transisi yang adil”, mengingat harga energi bersih menjadi mahal dan tidak terjangkau dan tidak dapat diakses, termasuk penduduk berpenghasilan rendah dan pedesaan.
Selain itu, kebijakan pemerintah yang tidak stabil atau tidak jelas mengenai subsidi bahan bakar fosil, menunda investasi dalam energi bersih. Diperlukan kerangka kerja jangka panjang yang konsisten untuk mendukung transisi energi bersih.
Terakhir, ancaman transisi juga datang dari orang-orang yang memiliki kepentingan dalam sektor bahan bakar fosil, seperti perusahaan serakah yang menggunakan pengaruh politik untuk melobi izin baru industri pertambangan ekstraktif. Polemik saat ini adalah tentang eksplorasi pertambangan nikel di pulau terkenal Raja Ampat, Papua.
Berbagai tantangan di atas tentu dapat diatasi dengan komitmen politik yang kuat dari pemerintah dan dialog sosial yang berkelanjutan.
Seperti diketahui, IEA merupakan sebuah badan yang berdiri dalam kerangka Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), yang didirikan pada bulan November 1974 untuk melaksanakan program energi internasional.
IEA melakukan kerja sama energi secara menyeluruh antara 28 negara dari 30 negara anggota OECD.Tujuan dasar pendirian IEA diantaranya untuk mengelola dan memperbaiki sistem penanggulangan terjadinya gangguan pasokan minyak.
IEA juga bertujuan untuk mempromosikan kebijakan-kebijakan energi yang rasional di dalam konteks global melalui hubungan kerja sama dengan negara-negara bukan anggota, industri, dan organisasi internasional.
Di samping itu, IEA didirikan untuk mengoperasikan suatu sistem informasi permanen mengenai perdagangan minyak dunia.IEA bertanggung jawab terhadap perbaikan struktur pasokan dan pemakaian energi dunia dengan mengembangkan sumber-sumber energi alternatif dan meningkatkan penghematan energi.
IEA juga menjalankan promosi kerjasama internasional mengenai teknologi energi dan membantu dalam penggabungan antara kebijakan lingkungan dengan kebijakan energi.Negara-negara anggota IEA adalah: Australia, Austria, Belgia, Kanada, Cekoslowakia, Denmark, Finlandia, Perancis, Jerman, Yunani, Hongaria, Irlandia, Italia, Jepang, Korea, Luxemburg, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Polandia, Portugis, Slowakia, Spanyol, Swedia, Swiss, Turki. (RED/handi)