Kecerdasan Buatan dan Arah Gerakan Buruh

Kecerdasan Buatan dan Arah Gerakan Buruh

Gambar ilustrasi

Pada prinsipnya setiap pekerja harus mendapat perlindungan negara, terlepas apa jenis pekerjaanya dan pola hubungan kerjanya. Oleh REKSON SILABAN (MPO KSBSI), Dilansir dari kompas.id Selasa (30/04/2024).

Baca juga:  Carlos Rajagukguk: May Day 2023 Buruh Dalam Kondisi Sulit, Ditambah Tahun Politik,

KSBSI.ORG, JAKARTA - Belum usai membereskan masalah yang diakibatkan sistem pasar kerja fleksibilitas, serikat buruh saat ini disibukkan dengan munculnya sistem ekonomi platform yang menghadirkan masalah lebih rumit dan berdampak pada keberlanjutan dari institusi gerakan buruh.

Itulah sebabnya, pada perayaan Hari Buruh Internasional atau May Day 2024 kali ini, menarik memaparkan implikasi ekonomi platform pada gerakan buruh, khususnya berkaitan dengan teknologi kecerdasan buatan (AI) dan manajemen algoritmanya.

Sebuah model relasi kerja unik antara pemilik modal dan buruh yang tidak dikenal dalam praktik sebelumnya. Secara ekstrem kejadian ini sering disebut sebagai the end of the employment, sebuah sistem yang ditandai kaburnya relasi kerja buruh dan majikan, munculnya jenis kerja tanpa majikan, serta pekerja dengan sistem kemitraan.

Jenis kerja baru ini lahir dari kecerdasan kapitalisme yang memanfaatkan teknologi untuk menjalankan bisnis secara lebih efisien dengan mengalihkan sebagian besar ongkos buruh (labor cost) ke pihak lain.

Meski ekonomi platform dan AI menjanjikan beberapa hal positif terkait kemudahan bisnis, perkembangan AI telah memicu kekhawatiran baru akan hilangnya pekerjaan dalam skala besar yang berasal dari kemampuannya dalam mengotomatisasi serangkaian tugas yang berkembang pesat (termasuk tugas-tugas kognitif nonrutin) dan potensinya untuk memengaruhi setiap sektor ekonomi.

Di samping itu, ada kekhawatiran tentang kesejahteraan pekerja dan lingkungan kerja yang lebih luas terkait dengan gagasan bahwa AI mungkin akan segera menyebar di tempat kerja serta mengancam dan merusak tempat manusia di dalamnya.

Sementara itu, penggunaan algoritma yang diprogram untuk mengambil keputusan manajemen, termasuk keputusan perekrutan, pemecatan, dan pendisiplinan, secara langsung memengaruhi hak dan kondisi pekerja platform, termasuk prinsip-prinsip dan hak-hak dasar mereka di tempat kerja

Jika sejarah ditilik ulang, setiap kali revolusi teknologi terjadi, banyak yang memprediksi hilangnya gerakan buruh.

Mereka lupa bahwa kelahiran awal serikat buruh di Eropa pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 justru terjadi akibat Revolusi Industri pertama ketika pekerjaan pertanian dan industri rumahan menghilang, digantikan mekanisasi dan industrialisasi. Selanjutnya menciptakan lapangan kerja dan pabrik di kota-kota industri.

Tanpa revolusi itu, serikat buruh tidak ada! Sesuai fakta, serikat buruh ternyata terus eksis pada Revolusi Industri kedua (listrik) dan ketiga (komputer dan robot).

Ujian serius pertama pada gerakan buruh terjadi pada era 1980-an saat dimulainya deindustrialisasi di negara industri maju. Saat buruh pabrik blue collar tergerus dan diganti dengan buruh kerah putih (white collar) di sektor industri jasa.

Dalam sejarah, pekerja ”kerah putih” ini adalah pekerja yang enggan terlibat dalam gerakan buruh. Kemungkinan ini berkaitan dengan posisi mereka yang banyak berada pada kelompok kelas menengah sehingga secara ideologis tidak terikat pada perjuangan kepentingan kelas buruh.

Sebagaimana disebut Max Weber, adanya beragam kelas di masyarakat (ekonomi, pendidikan, dan jender) menghasilkan moderasi reaksi (deradikalisasi) perjuangan kelas buruh. Termasuk persepsi mereka yang beragam terhadap legitimasi pemilik kekuasaan (pemerintah).

Namun, sejarah membuktikan, ujian besar pertama di atas dapat dilalui meski hampir keseluruhan negara maju mengalami penurunan besar jumlah anggota. Namun, penurunan ini mendapat kompensasi dengan munculnya gerakan buruh baru di negara-negara berkembang yang bertumbuh akibat relokasi industri dari negara maju sebagai efek dari sistem pembagian kerja internasional.

Ringkasnya, jumlah buruh yang tergabung dalam serikat buruh secara global tak menurun, tetapi menurun di negara industri maju. Dampak penurunan keanggotaan ini memperlemah sistem negara proburuh (labor-friendly government) dan membuka jalan terhadap munculnya rezim-rezim baru antigerakan buruh (business-friendly government).


Munculnya sistem ekonomi platform pada awal 2000-an kembali memperkirakan berakhirnya gerakan buruh. Dengan alasan jenis pekerja terakhir ini tidak sepenuhnya bisa dikategori sebagai buruh sehingga sulit terlibat pada agenda gerakan buruh. Dengan keunikan sifat kerjanya, pekerja pada sistem platform berbeda secara ideologis dan sosiologis dengan konsep buruh konvensional.

Ditambah lagi dengan tiadanya hubungan kerja langsung dengan pemberi kerja, lokasi kerja yang terpencar (remote workers), dan pemberi kerja beragam, membuat sedikit ruang terjadinya konflik hubungan industrial secara langsung dengan majikan sebagaimana terjadi pada pekerja konvensional.

Paradoks produktivitas

Kecerdasan buatan pada ekonomi platform menurut OECD adalah sistem berbasis teknologi yang dapat membantu manusia membuat serangkaian prediksi, rekomendasi, atau keputusan yang memengaruhi kehidupan/lingkungan virtual.

Pada prinsipnya setiap pekerja harus mendapat perlindungan dari negara, terlepas apa jenis kerja dan pola hubungan kerjanya.

Fitur utama teknologi otomasi adalah memperluas serangkaian tugas dalam proses produksi yang dapat dilakukan oleh modal (mesin dan teknologi) sehingga jika porsi tugas yang dilakukan oleh modal meningkat, porsi tugas yang dilakukan tenaga kerja menurun (Acemoglu dan Restrepo, 2019).

Hal ini mengurangi permintaan tenaga kerja serta memberikan tekanan pada lapangan kerja dan upah. Meskipun akan terjadi peningkatan produktivitas, upah pekerja mungkin tidak meningkat pada tingkat yang sama. Inilah yang disebut sebagai paradoks produktivitas (productivity paradox).

Dari perspektif teoretis, dampak AI terhadap pekerjaan dan upah sejauh ini masih ambigu. AI dapat memainkan peran penting dalam memfasilitasi kolaborasi manusia dan mesin, membantu pekerja melaksanakan tugas-tugas yang membosankan atau menuntut fisik, sekaligus memungkinkan mereka memanfaatkan kemampuan manusia yang unik.

Namun, aplikasi AI yang sama juga dapat menimbulkan risiko yang signifikan bagi lingkungan kerja, terutama jika diterapkan secara tidak tepat atau dengan motivasi tunggal untuk memangkas biaya.

Jadi, atas dua perspektif ini, beberapa ahli menyebut kemanfaatan AI sangat bergantung pada, pertama, kondisi pasar dan kebijakan yang dikembangkan pemerintah karena hal itu nantinya akan menentukan jenis AI yang dikembangkan/digunakan atau bagaimana AI dikembangkan/digunakan.

Bukti empiris berdasarkan AI yang diadopsi dalam 10 tahun terakhir tidak mendukung gagasan adanya penurunan pekerjaan dan upah secara keseluruhan dalam pekerjaan yang terpapar AI. Meski AI mampu melakukan beberapa tugas kognitif nonrutin, banyak tugas yang masih membutuhkan manusia untuk melakukannya.

Dengan demikian, sebagian besar dampak AI pada pekerjaan kemungkinan besar akan dialami kelompok pekerja tertentu yang mungkin lebih mampu atau berada pada posisi yang lebih baik untuk memetik manfaat dari manfaat yang dibawa oleh AI dan menghindari dampak negatifnya.

Kedua, beberapa penelitian menunjukkan dampak positif AI terhadap pertumbuhan upah dialami oleh individu dengan pencapaian pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa para pekerja ini lebih mampu atau berada pada posisi yang lebih baik untuk menggunakan AI, meningkatkan produktivitas mereka, dan berbagi manfaatnya.

Standar ketenagakerjaan internasional yang ada tak cukup untuk mengatur semua aspek ekonomi platform secara memadai.

Ketiga, AI lebih berkontribusi positif pada daerah dan keahlian tertentu sehingga memperlebar kesenjangan kinerja antara perusahaan yang mengadopsi teknologi AI dan yang tidak menggunakan AI.

Keempat, keuntungan dari AI sebagian besar hanya diperoleh oleh sejumlah kecil perusahaan, yang karena kekuatan pasarnya memungkinkan beroperasi dalam bisnis antipersaingan dengan menghalangi pihak lain mengakses AI. Dilema ini harus dicari solusinya dengan prinsip, teknologi seharusnya diciptakan untuk menghadirkan kebaikan pada kemanusiaan, bukan sebaliknya.

Konsep baru

Dunia sedang melakukan berbagai kajian bagaimana seharusnya mengadopsi teknologi digital produk Revolusi Industri 4.0 ini. Standar ketenagakerjaan internasional yang ada tak cukup untuk mengatur semua aspek ekonomi platform secara memadai.

Hal ini disebabkan jenis hubungan hukum dalam pekerjaan platform sangat bervariasi, interaksinya sangat kompleks akibat sifat pekerjaan platform yang juga beroperasi lintas negara, penggunaan algoritma, dan desentralisasi produksi. ILO sudah mengagendakan isu ini dibahas pada Konferensi ILO 2025. Kemungkinan akan lahir konvensi baru untuk menjadi panduan standar internasional.

ILO menemukan ada 20 kesenjangan (normative gaps) yang belum tercakup di standar ketenagakerjaan internasional.

Di antaranya ketidakjelasan hubungan kerja, dualisme pekerja platform karena ada pekerja reguler dan pekerja independen, kurangnya transparansi remunerasi, ketidakjelasan biaya aplikasi yang dibayarkan oleh pekerja platform, pembayaran upah minimum, perlindungan sosial, masalah transparansi algoritma, perlindungan keselamatan kerja, aturan jam kerja, perlindungan kerja lintas batas negara, serta sistem pengawasan ketenagakerjaan.

Sementara kelompok negara maju yang tergabung di OECD mengeluarkan OECD Principles on AI sebagai panduan negara anggota menjalankan AI. Prinsip ini perlu dicermati Indonesia yang saat ini sedang dalam proses menjadi anggota OECD. Sebagaimana diatur di OECD, kebijakan Indonesia dalam pasar kerja selanjutnya akan mengikuti standar OECD.

Prinsip OECD untuk AI dilakukan berikut, AI harus memberdayakan orang untuk berinteraksi secara efektif dengan sistem AI, memastikan transisi yang adil bagi pekerja saat AI digunakan, serta mempromosikan penggunaan AI yang bertanggung jawab di tempat kerja untuk meningkatkan keselamatan pekerja dan kualitas pekerjaan.

Memahami implikasi AI pada pekerja platform sangat penting untuk menavigasi dan beradaptasi dengan lanskap pasar tenaga kerja yang terus berubah. Penelitian mengenai dampak AI terhadap pasar tenaga kerja menunjukkan bahwa AI memiliki banyak efek.

Efek-efek ini dapat berdampak pada permintaan tenaga kerja, upah, dan kesempatan kerja. Selain itu, penggunaan AI dalam pekerjaan platform juga memiliki potensi untuk menciptakan peluang dan tantangan bagi para pekerja. Memahami perubahan ini akan memberikan wawasan tentang bagaimana AI akan memengaruhi permintaan tenaga kerja di masa depan, termasuk pergeseran permintaan keterampilan (Lane & Saint-Martin, 2021).

Pada prinsipnya setiap pekerja harus mendapat perlindungan dari negara, terlepas apa jenis kerja dan pola hubungan kerjanya. Serikat buruh Indonesia perlu mendesak pemerintah segera membuat formula perlindungan pekerja platform mengingat puluhan juta buruh yang bekerja pada sistem platform tidak mendapat perlindungan layak.

Komentar