KSBSI.ORG: Jakarta-Saut Pangaribuan dari Departemen Advokasi Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) mengatakan bahwa dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang baru disahkan DPR RI, terdapat beberapa pasal yang merugikan seorang buruh yang bekerja di perusahaan.
Baca juga: Demo di Balai Kota, Buruh KSBSI Desak Anies Cabut Pergub UMP 2021, DPRD dan Pemkab Serang Mendukung Buruh, Menolak UU Cipta Kerja, Sekjen KSBSI: Buruh Dibohongi, Kami Siapkan Langkah Judical Review UU Cipta Kerja,
Setelah dilakukan pengkajian mendalam,
KSBSI menyimpulkan terdapat pasal-pasal yang mengancam masa depan buruh dalam
UU Cipta Kerja. Diantaranya, pasal 59, 66 dan 156. Berikut pemaparan ancaman
pasal-pasal yang dianggap merugikan buruh, seperti:
Dalam Pasal 59, dijelaskan mengatur
tentang perjanjian kerja antar waktu (PKWT). Saut membeberkan bahwa saat proses
pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, pasal ini sebenarnya telah
dihapus. Namun setelah hasil pembahasan dalam agenda Tripartit beberapa waktu
lalu, bersama pemerintah, serikat buruh/pekerja, KADIN dan APINDO, disepakati
pasal ini dihidupkan kembali.
Nah, setelah pembahasan pasal tersebut
dilakukan DPR RI di Gedung Parlemen Senayan, pasal 59 memang tetap dihidupkan
kembali untuk dibahas. Namun yang disesalkan, selama pembahasan pasal 59 tidak
diadopsi secara utuh. Sehingga mengakibatkan hal-hal yang sudah baik diatur
dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
dihilangkan. Diantaranya:
A.
Jenis, sifat pekerjaan yang boleh dilakukan kontrak kerja.
B.
Jangka waktu dan batas perpanjangan waktu tertentu.
Dimana, dalam UU eksisting
(undang-undang lama yang masih berlaku) hal tersebut telah jelas diatur oleh UU
Cipta Kerja dan mandat tersebut akan diatur pada peraturan pemerintah. Nah,
yang menjadi pertanyaannya adalah kenapa UU eksisting yang sudah jelas mengatur
kemudian UU Cipta Kerja dihilangkan?
“Kalau masalah PKWT sudah dihilangkan,
maka besar kemungkinan sistem kontrak kerja di perusahaan akan berlaku
selamanya. Sehingga seorang buruh yang berstatus PKWT sudah pasti tidak
memiliki kepastian menjadi pekerja tetap dalam perusahaan,” ujarnya, di
Cipinang Muara, Jakarta Timur, Jumat, 2 Oktober 2020.
Terkait pasal 66, pasal ini mengatur
tentang perusahaan alih daya atau dikenal jasa outsourcing. Dengan terjadinya
perubahan perubahan pasal 66 UU eksisting menjadi pasal 66 UU Cipta Kerja, Saut
menilai bisa mengakibatkan dampak tidak baik terhadap seorang buruh yang
bekerja di perusahaan.
Seperti, bagi perusahaan penyedia jasa
tenaga kerja (outsourcing) dapat digunkan untuk melaksanakan kegiatan pokok
atau kegiatan yang berhubungan dengan proses produksi. Artinya, dalam segala
bidang jenis pekerjaan dapat menggunakan perusahaan alih daya.
“Sedangkan di UU eksisting penggunaan
perusahaan alih daya hanya dapat digunakan untuk pekerjaan yang sifatnya
penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
Hal tersebut dinilainya bisa mengakibatkan seluruh pekerjaan dilakukan oleh
perusahaan alih daya. Jadi tak ada lagi tanggung jawab perusahaan pemberi
pekerjaan kepada perusahaan alih daya terhadap buruh/pekerja,” ungkapnya.
Untuk pasal 156, terkait penyelesaian
masalah pemutusan hubungan kerja (PHK) juga ada perubahan redaksi pada pasal
156 ayat 2, yaitu kalimat “Paling sedikit” pada UU eksisting diganti dengan
kalimat “Paling Banyak”. Saut menjelaskan perubahan tersebut, tentunya
mengandung makna bahwa buruh/pekerja tidak lagi mendapat hak pesangon melebihi
dari apa yang diatur dalam pasal 156.
Akibat dihapusnya pasal 161, pasal 162,
pasal 163, pasal 164, pasal 165, pasal 166, pasal 167 UU No. 13 Tahun 203
mengakibatkan:
1.
Apabila buruh/pekerja dianggap melakukan pelanggaran, maka tanpa
peringatan perusahaan boleh melakukan PHK dengan tidak mendapat pesangon
2.
Pekerja yang mengundurkan diri tidak mendapat uang penggantian hak
3.
Buruh/pekerja yang di PHK akibat penggabungan (merger) perusahaan tidak
mendapatkan pesangon 2 x ketentuan.
4.
Buruh/pekerja yang di PHK karena pengurangan tenaga kerja tidak lagi
mendapat pesangon 2 x ketentuan
5.
Buruh/pekerja yang meninggal dunia tidak mendapat pesangon 2 x ketentuan
6.
Buruh/pekerja yang pensiun tidak lagi mendapatkan pesangon 2 x ketentuan
7.
Jika perusahaan dinyatakan pailit, maka buruh/pekerja tidak mendapat
pesangon.
Mengingat UU Cipta Kerja berpotensi
mengancam hak dan kesejahteraan buruh, Dewan Eksekutif Nasional (DEN) KSBSI
dalam waktu dekat ini segera melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi
(MK). Ada beberapa materi gugatan yang akan dilakukan, seperti masalah
pesangon, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan kerja kontrak
(outsourching) dan Tenaga Kerja Asing Unskill.
“Sebelum melakukan judicial review, tim
hukum KSBSI yang dipersiapkan akan berkonsultasi dan meminta saran dari ahli
hukum yang memahami UU Cipta Kerja. Agar materi judicial review di MK nanti
benar-benar berkualitas,” terangnya. (A1)