UU K3 Dianggap Sudah Usang, Konvensi ILO No. 155 Tahun 1981 Tentang K3 Sebaiknya Diratifikasi

UU K3 Dianggap Sudah Usang, Konvensi ILO No. 155 Tahun 1981 Tentang  K3 Sebaiknya Diratifikasi

Sulistri Sekretaris Jenderal FSB KAMIPARHO-KSBSI

KSBSI.org,JAKARTA-Sulistri Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP FSB KAMIPARHO afiliasi Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) mengatakan ratifikasi Konvensi ILO No. 155 Tahun 1981 Tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah sebuah keharusan. Lanjutnya, dia mengatakan pemerintah sekarang ini memang sudah mengadopsi Konvensi ILO No. 187 Tahun 2006 Tentang Promotial Framework. Dimana tujuan konvensi ini untuk Menyusun Profil K3 Nasional pada 2018.

Baca juga:  Manajement Kasus Berbasis Digital, ILO Fasilitasi Serikat Dalam Menjawab Kebutuhan Anggotanya,

“Menurut saya, pemerintah sudah waktunya meratifikasi Konvensi ILO No. 155 Tahun 1981 Tentang K3. Karena, kalau tidak di ratifikasi akan tetap menjadi masalah di dunia kerja,” kata Sulistri saat diwawancarai, di Kantor Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), Cipinang Muara, Jakarta Timur, Rabu (1/3/2023).

Dia juga mengatakan ada beberapa polemik kalau Konvensi ILO No. 155 Tahun 1981 Tentang K3 tidak dilakukan ratifikasi. Diantaranya, konvensi ini sudah tidak kontekstual lagi dengan Undang-Undang K3, karena dibuat pada 1970. Kemudian, tujuan aktivis serikat buruh mendesak melakukan ratifikasi untuk memperkuat legalitas K3 dalam lingkungan kerja.

“Karena sampai hari ini masih banyak perusahaan yang belum menjalankan tanggung jawabnya untuk memberikan Alat Pelindung Diri (APD) kepada buruh saat mereka bekerja,” ungkapnya.

Namun, Sulistri tidak menyalahkan secara keseluruhan perusahaan dalam soal lemahnya penerapan K3. Sebagai contoh, dia pernah mendapat informasi di salah satu perusahaan perkebunan kelaa sawit. Awalnya perusahaan memang memberikan APD kepada pekerja status borongan. Tapi dalam perjalanannya, pekerja tersebut mengundurkan diri dan tapi mereka tidak mengembalikan APD  milik perusahaan.

“Sehingga akhirnya pihak perusahaan pun menjadi kecewa,” terangnya.

Kemudian, dalam sistem pengawasan yang dilakukan Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3) dinilainya masih kurang maksimal selama ini. Termasuk, kata Sulistri panduan sistem manajemen K3 di lingkungan perusahaan juga masih banyak perwakilan serikat buruh dan perusahaan yang belum memahaminya.

“Memang selama ini sudah banyak perusahaan yang memiliki sistem manajamen K3 sendiri. Namu ada baiknya, sistem manajemen K3 ini harus sesuai panduan yang sesuai aturan yang berlaku,” ungkapnya.

Sulistri menjelaskan  Konvensi ILO No. 155 Tahun 1981 Tentang K3 memang tidak memiliki legalitas sanksi yang tegas apabila perusahaan tidak menjalankannya. Termasuk, Konvensi  ILO No. 155 Tahun 1981 Tentang K3  ini masih bersifat umum. Belum masuk pada subtansi sektoral jenis perusahaan, seperti sektor pertanian, perkebunan, perikanan dan pertambangan.

“Jadi, selama pemerintah belum meratifikasi  Konvensi ILO No. 155 Tahun 1981 Tentang K3, maka kemungkinan agak susah menerapkan K3 yang ideal disemua perusahaan,” ucapnya.

“Termasuk pemerintah sebaiknya harus merevisi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 Tentang K3. Sebab, ada beberapa pasal dalam undang-undang ini ada sanksi yang sudah tidak ideal lagi jika perusahaan mengabaikan penerapan K3,” pungkasnya.

Tegasnya, Sulistri mendesak pemerintah segera meratifikasi Konvensi ILO No. 155 Tahun 1981 Tentang K3 yang bisa mengakomodir seluruh kepentingan buruh diberbagai sektor kerja. Memang, pemerintah sudah banyak meratifikasi konvensi ILO. Namun, untuk  Konvensi ILO No. 155 Tahun 1981 Tentang K3, dinilainya sangat lamban melakukannnya.

Berhubung pemerintah belum ada niat meratifikasi Konvensi ILO No. 155 Tahun 1981 Tentang K3, ia menyampaikan serikat buruh memilih jalur sosial dialog dengan perusahaan. Dimana tujuannya, agar penerapan K3 bisa diterapkan seutuhnya di perusahaan.

“Sejauh ini FSB KAMIPARHO yang membangun aliansi Jejaring Serikat Pekerja/Buruh Indonesia sudah bekerja sama dengan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesi (GAPKI). Kami sering melakukan diskusi tentang beberapa isu ketenagakerjaan di sektor perkebunan kelawa sawit. Salah satunya membahas masalah K3,” kata Sulistri.           

Lanjutnya, dari diskusi rutin yang dilakukan tersebut, dia mengatakan kalau untuk tatanan pengurus pusat GAPKI tingkat nasional, sudah setuju mengenai pentingnya penerapan K3 dilingkungan kerja. Tapi yang masih menjadi kendala adalah, masih banyak perusahaan kelapa sawit yang belum menerapkan K3. Karena alasannya belum semua pengusaha kelapa sawit bergabung dengan GAPKI.

“JAPBUSI dan GAPKI juga sudah membuat kesepakatan bersama di tingkat nasional mengenai beberapa isu ketenagakerjaan. Salah satunya soal penerapan K3 di perkebunan kelapa  sawit. Nah, untuk diwilayah provinsi seperti Riau, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur juga sudah dilakukan deklarasi yang sama untuk mengedepankan sosial dialog,” jelasnya.

Selain itu, Sulistri yang juga koordinator sosial dialog JAPBUSI untuk membuat Kerjasama dalam kegiatan bersama GAPKI diberbagai daerah. Nantinya, kegiatan ini akan ditujukan ke beberapa daerah untuk mengajak perwakilan serikat buruh di sektor perkebunan kelapa sawit dan pengurus GAPKI tingkat daerah.   

Terakhir, Sulistri menyampaikan pemerintah sudah paham tentang aturan dan penerapan K3. Sementara, banya perusahaan yang juga sadar akan pentingnya APD untuk pekerjanya saat bekerja, tapi kemaunnya masih minim untuk menjalankannya.

“Sementara, pemerintah ketegasan pemerintah masih lemah dalam menindak serta memberi sanksi tegas apabila ada perusahaan yang mengabaikan peneraan K3,” tutupnya. (AH)

 

Komentar