Sidang MK UU Cipta Kerja, Keterangan DPR RI Terkesan Bersilat Lidah

Sidang MK UU Cipta Kerja, Keterangan DPR RI Terkesan Bersilat Lidah

Supriansah S.H., M.H. Kuasa Hukum dari DPR RI saat membacakan keterangan DPR RI di ruang sidang MK tentang Pengujian Formiil dan Materiil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Kamis (13/07/2023).

"Namun hari ini, DPR melalui kuasa hukumnya, Supriansah (anggota DPR) menerangkan bahwa yang hadir fisik dan virtual berjumlah 348 orang (hadir fisik 111 orang dan hadir virtual 237 orang), sehingga sudah kuorum, kata Supriansyah. Disinilah letak bersilat lidahnya DPR." jelas Harris Manalu.

Baca juga:  Sidang Pertama JR UU Cipta Kerja di MK, KSBSI Sampaikan Pokok Permohonan dan Petitum,

KSBSI.ORG, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar Sidang Pleno lanjutan perkara 41/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Pemohon KSBSI yang diwakili oleh Elly Rosita Silaban, Presiden KSBSI dan Dedi Hardianto, Sekretaris Jenderal KSBSI dengan Kuasa Hukum, Haris Isbandi, S.H., Harris Manalu, S.H. dan kawan-kawan, dengan agenda Mendengarkan Keterangan DPR dan Ahli Pemohon (VIII) tentang Pengujian Formiil dan Materiil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. 

Sidang MK yang sedianya dengan agenda Mendengarkan Keterangan DPR dan Ahli Pemohon Perkara 40/PUU-XXI/2023 Pengujian Formiil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang hanya diagendankan mendengarkan keterangan DPR saja.

"Untuk agenda mendengarkan Ahli dari Pemohon perkara 40/PUU-XXI/2023 ditunda di sidang selanjutnya (Rabu, 26/07/2023) dikarenakan belum memenuhi ketentuan prosedur dari Kepaniteraan." kata Ketua Majelis Hakim, Anwar Usman di ruang sidang MK, Kamis (13/07/2023).

Sementara itu, Supriansah S.H., M.H. Kuasa Hukum dari DPR dalam sidang tersebut menyampaikan keterangan DPR tentang permohonan pengujian formiil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang terhadap UUD 1945.

Supriansah, menjabarkan dalil-dalil dari keterangan DPR RI secara rinci dan diantaranya isi Petitum DPR RI juga dibacakan oleh Supriansah, yaitu bahwa DPR RI memohon agar kiranya Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut,

1. Menyatakan bahwa para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing sehingga permohon a quo dinyatakan tidak dapat diterima;

2. Menolak permohonan a quo dalam pengujian formiil untuk seluruhnya;

3. Menerima keterangan DPR RI secara keseluruhan;

4. Menyatakan bahwa, proses pemebentukan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Repulik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 6856) telah memenuhi ketentuan pembentukan peraturan perundang undangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang (UU) Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;

5. Menyatakan bahwa proses pembentukan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum yang mengikat;

6. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;

Apabila Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).





Menanggapi keterangan DPR RI, Yang Mulia Majelis Hakim MK, Daniel Yusmic P Foekh meminta DPR RI untuk memberikan keterangan tambahan dalam sidang berikutnya. Ia beralasan bahwa makna kegentingan yang memaksa, kemudian menjadi tidak ada artinya kalau dibutuhkan 60 hari pembahasan dan masa sidang berikut otomotis akan berubah. Ia juga menyoroti kaitannya dengan putusan MK No. 91. 

"Lalu terkait Putusan MK No. 91 yang mana keberadaan UU Cipta Kerja itu kan sebenarnya pada persoalan formilnya, tetapi dalam kenyataannya setelah ada perubahan, itu justru ada penambahan norma. Baru pertama ada UU dengan persoalan formil, justru di Perppukan, padahal ada tahapan yang sementinya DPR dan Presiden dapat melakukan perubahan, tetapi dalam kenyataan justru di Perppukan." ungkap Hakim Daniel. 

Sementara itu, Harris Manalu kuasa hukum KSBSI perkara Nomor 41/PUU-XXI/2023 ketika ditemui ditempat yang berbeda, menanggapi keterangan DPR RI dengan mengatakan bahwa hari ini DPR RI sedang mempermalukan lembaganya sendiri bahkan Ketua DPR. 

Menurut Harris Manalu, Ketua DPR, sebelum membuka rapat paripurna, menyampaikan bahwa berdasarkan daftar hadir, anggota yang hadir fisik 75 orang, virtual 210 orang, izin 95, jumlah yang hadir 380 orang. 

KSBSI berpendapat bahwa izin 95 orang itu tidak dapat dianggap hadir. Maka jumlah yang hadir menurut KSBSI adalah 285 orang, bukan 388 orang seperti yang disebut Ketua DPR. 

Karena jumlah anggota DPR sekarang 775 orang maka supaya cukup 1/2 + 1 (kuorum) maka yang wajib hadir di rapat paripurna minimal 288 orang.

"Namun hari ini, DPR melalui kuasa hukumnya, Supriansah (anggota DPR) menerangkan bahwa yang hadir fisik dan virtual berjumlah 348 orang (hadir fisik 111 orang dan hadir virtual 237 orang), sehingga sudah kuorum, kata Supriansyah. Disinilah letak bersilat lidahnya DPR." jelas Harris Manalu.

Lebih Lanjut, Harris menjelaskan bahwa pengesahan Perppu tidak sah karena disetuji disidang ke-2 setelah penetapan Perppu. Justru pemahan DPR yang salah sebagaimana yang disampaikan kuasa DPR dalam persidangan hari ini.

"Bahwa, DPR pura-pura tidak tahu konstitusi kita (UU 1945). DPR menganggap UUD 45 tidak kongkrit mengatur frasa "dalam persidangan yang berikut" dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 jo. 52 ayat (1) UU 12/2011 dan Penjelasannya. Lantas apa maksudnya sehingga diputuskan di sidang paripurna ke 2, berarti 1 atau 2 tahun kedepan juga bisa disahkan, padahal ini kan Perppu, berarti ada kegentingan yang memaksa. Lantas dimana makna kegentingan yang memaksa." tegas Harris.

Dalam sidang tersebut, Supriansyah juga membacakan keterangan DPR kaitannya dengan asas keterbukaan, walaupun pemohon perkara 41 sering dilibatkan dalam proses pembuatan UU, namun kali ini tidak dilibatkan maka bukan berarti UU tidak sah.

Menurut Harris, bahwa DPR mengakui bahwa KSBSI tidak dilibatkan dalam proses, jadi keterangan DPR pada sidang hari ini bertolak  belakang semua. (RED/Handi)

Komentar