KSBSI.ORG Nasib buruh perempuan di sektor perkebunan kelapa sawit masih banyak mengalami diskriminasi. Seperti masalah upah layak, jaminan perlindungan sosial dan kesehatan dan keselamatan kerja. Serta kerap mendapat perlakuan pelecehan dan kekerasan seksual. Persoalan ini juga masih jarang diketahui publik. Karena keberadaan mereka bekerja, jauh dari hiruk pikuk kehidupan kota.
Baca juga: Dampak Covid-19, Penghargaan HAM Terhadap Buruh Terabaikan, Industri 4.0 Bakal Merubah Budaya Kerja dan Sistem Upah,
Sulistri
Ketua PLT Dewan Pengurus Pusat Federasi Serikat Buruh Kamiparho Konfederasi
Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) membenarkan buruh perempuan di sektor
ini masih sengaja di marjinalkan. Dia menjelaskan,di industri kelapa sawit itu
ada dua jenis pekerjaan dilakukan perempuan.
“Pertama,
bagian pengolahan kelapa sawit dan kedua di daerah perkebunannya dan sisanya
bekerja bagian administrisi dan keuangan,” kata Sulistri, waktu diwawancarai,
di Cipinang Muara, Jakarta Timur, Selasa (26/1/21).
Lanjutnya,
pada umumnya status mereka bekerja di perkebunan adalah buruh lepas. Sehingga,
upah dan jaminan sosial tidak diperhatikan. Kalau yang bekerja dibagian
pengolahan, ia menyampaikan nasibnya lumayan diperhatikan. Salah satunya, cuti
haid dan melahirkan sudah diberikan perusahaan.
Lalu ada
juga istilah status ‘buruh siluman’. Mereka ini mayoritas istri terpaksa
membantu suaminya bekerja, akibat target dari perusahaan, tapi mereka tidak
mendapatkan upah. Tentu saja, pekerjaan yang mereka lakukan penuh dengan
risiko, karena kalau terjadi kecelakaan kerja, tidak mendapatkan ganti rugi dan
pengobatan dari pihak perusahaan.
“Sampai hari
ini upah dan kesejahteraan buruh perempuan di sektor kelapa sawit masih jauh
dari harapan. Dan masih banyak belum dilibatkan menjadi peserta 5 program BPJS
Ketenagakerjaan, terutama bagi buruh perempuan harian lepas,” terangnya.
Terkait
pelecehan seksual, dia menyampaikan sering mendapat laporan dari pengurus
cabangnya, bahwa buruh perempuan sering mendapat kekerasan pelecehan seksual.
Seperti di colek dan di goda yang terkesan tidak sopan.
“Menurut
pengakuan, sebenarnya mereka tidak suka dengan perlakuan pelecehan seksual ini.
Tapi apa daya, mereka lebih banyak memilih diam. Tidak tahu harus mengadu
kemana dan merasa malu,” ujarnya.
Sulistri
menerangkan pemilik perkebunan kelapa sawit di Indonesia itu mayoritas
perusahaan multinasional. Tapi, yang menjadi persoalan itu, terletak pada
perusahaan sub kontrak tenaga kerja kontrak (outsourching). Sehingga, banyak
buruh belum mendapatkan haknya sesuai peraturan ketenagakerjaan.
“Salah satu
contoh kasus perusahaan nakal sub kontrak ini pernah menimpa anggota kami di
Sumatera Utara,” ujarnya.
Partisipasi
Perempuan
Menyikapi
kritikan dunia internasional asing yang menilai perkebunan sawit berdampak pada
kerusakan lingkungan, ia menjelaskan sikap tekanan itu bukan solusi. Kalau pun
negara asing melakukan penolakan ekspor sawit Indonesia justru akan menambah
beban baru.
“Bicara
perkebunan sawit di negara ini kan melibatkan jutaan buruh yang bekerja. Dan
sebagian besar dari mereka juga menghidupi kebutuhan ekonomi keluarganya. Kalau
dunia asing menolak sawit kita, sudah pasti jutaan orang akan menjadi
masalah,” ungkapnya.
Tegasnya,
kalau negara-negara di Eropa ingin menyelesaikan masalah ini, dia menyarankan
untuk duduk bersama mencari solusi. Agar kerusakan lingkungan bisa berkurang.
Kalau ada persoalan HAM, terkait masalah buruh sebaiknya dikedepankan penguatan
sosial dialog untuk menjalankan peraturan ketenagakerjaan.
“Kami ingin
solusi transisi yang adil untuk buruh dan lingkungan dari persoalan ini. Ya
kalau dunia internasional hanya ngotot ingin ekspor sawit di boikot, kan akan
sangat banyak buruh yang menderita,” lugasnya.
Sejauh ini,
KSBSI telah mendorong sosial dialog dengan manajemen perusahaan kelapa sawit.
Hasilnya, banyak perusahaan
multinasional telah merubah pola berpikirnya. Dan bersedia menjadi mitra untuk
memperbaiki hak kesejahteraan buruh.
Dipenghujung
wawancara, Sulistri mempunyai target khusus untuk meningkatkan kwalitas
kepemimpinan buruh perempuan di serikat buruhnya. Seperti memberikan pelatihan
kemampuan komunikasi, kepemimpinan, manajemen organisasi serta Perjanijan kerja
Bersama (PKB) di perusahaan secara online dimasa pandemi Covid-19.
“Kalau untuk
program pelatihan PKB, kami akan nantinya akan mendorong anggota kami,
khususnya perempuan untuk memasukan peraturan ke perusahaan supaya ada sanksi
keras terhadap pelaku pelecehan dan kekerasan seksual di lingkungan kerja,”
tandasnya.