KSBSI.org,JAKARTA_Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah melakukan inisiatif membuat Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Anak (RUU KIA). Dalam undang-undang tersebut terdapat pasal yang mengatur cuti melahirkan enam bulan bagi pekerja perempuan dan cuti suami 40 hari. Ketua DPR Puan Maharani juga mengatakan Badan Musyawarah (Bamus) DPR telah menyepakati RUU ini dapat dibawa segera ke Paripurna
Namun bagi pelaku bisnis, seperti dari
Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) menyatakan keberatan dengan RUU tersebut.
Pasalnya dianggap bisa merugikan perusahaan. Apalagi, dampak pandemi Covid-19, masih
banyak pengusaha yang belum bangkit dari keterpurukannya.
Kemudian, RUU KIA mengatur bahwa selama
pekerja perempuan menjalani cuti hamil 6 bulan, ia hanya akan mendapatkan gaji
penuh di 3 bulan pertama. Dan 3 bulan selanjutnya, gaji yang akan dibayarkan
hanya sebesar 70 persen. Aturan ini justru menjadikan perempuan memiliki nilai
tawar jauh lebih rendah untuk bersaing dengan laki-laki di dunia kerja.
Elly Rosita Silaban Presiden Konfederasi
Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) mengatakan RUU KIB ini sebaiknya dikaji
lebih jernih, karena menuai pro-kontra. Ia menjelaskan sebenarnya, serikat
buruhnya juga telah lama memperjuangkan cuti melahirkan pekerja perempuan
selama 14 minggu. Namun, sampai saat ini belum dikabulkan pemerintah dalam
bentuk peraturan hukum.
“Secara pribadi saya mengapresiasi terobosan
politik yang dibuat DPR terkait RUU KIB. Tapi saya perlu mengingatkan supaya jangan
kejar target membuat produk undang-undang, kalau kedepannya justru menambah
masalah baru,” ucapnya beberapa waktu lalu saat diwawancarai di Kantor KSBSI,
Cipinang Muara Jakarta Timur.
Sebab usulan RUU ini pada umumnya tidak disetujui
pengusaha. Bahkan, saat KSBSI memperjuangkan cuti melahirkan 14 minggu untuk
buruh perempuan, hanya beberapa perusahaan saja mengabulkan. Selebihnya
keberatan.
“Saya juga menyesalkan DPR yang tidak
pernah mengajak dialog perwakilan serikat buruh untuk memberi masukan waktu pembuatan
RUU KIB. Seharusnya mereka sejak awal mengajak diskusi, karena selama ini,
serikat buruh memang konsisten memperjuangkan soal hak cuti melahirkan,”
tegasnya.
Sebagian besar buruh perempuan pasti senang
jika cuti melahirkan 6 bulan ini ditetapkan undang-undang. Tapi dia menekankan DPR
harus mempertimbangkannya secara bijak. Karena fakta di lapangan, banyak buruh
perempuan pasca cuti hamil 3 bulan sesuai aturan UU Nomor.13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan justru di mutasi dari pekerjaan awalnya.
“Bahkan ada terkena Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK). Nah, masalah kasus ini yang sangat jarang diketahui DPR. Jadi
tidak perlu ngotot membuat undang-undang, kalau hasilnya nanti mengecewakan.
“Menurut saya alangkah baiknya DPR sekarang
ini memperjuangkan cuti 14 minggu saja bagi buruh perempuan melahirkan,” imbuhnya.
Elly berpendapat saat banyak pengusaha
keberatan soal cuti melahirkan 6 bulan untuk buruh perempuan, hal itu wajar
saja. Pasalnya, waktu cuti yang terbilang yang panjang ini dianggap merugikan
mereka. Ia juga mempertanyakan, apakah seandainya cuti 6 bulan ini disahkan ada
jaminan buruh perempuan yang melahirkan ini hanya fokus mengurus bayinya?
“Saya tidak menuduh, mungkin saja nanti mereka
mengerjakan pekerjaan domestik selama cuti sebagai ibu rumah tangga. Seperti
memasak, mencuci pakaian dan belanja,” ucapnya.
Intinya Elly mengatakan cuti melahirkan 6
bulan bagi buruh perempuan memang ideal, selama tujuannya untuk proses
pemulihan kesehatan dan psikologi. Tapi kalau RUU ini disetujui justru tidak
ada jaminan kembali bekerja di perusahaan, Elly mengatakan sebaiknya dibatalkan
saja. (AH)