KSBSI.ORG: Jakarta - Mengingat jumlah kasus Covid-19 di DKI Jakarta melonjak tinggi, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan akhirnya kembali menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) secara total. Kebijakan ini menjadi kontroversial oleh publik. Tapi PSBB total di DKI Jakarta hari ini, resmi diberlakukan. Dimana tujuannya, untuk memutus penyebaran Covid-19.
Baca juga: RUU Omnibus Law Cipta Kerja dari Perspektif Ekonomi , Dibeberapa Wilayah, KSBSI Masih Aksi Menolak UU Cipta Kerja, MA Berjanji Mencabut Pemblokiran Rekening KSBSI yang Dilakukan PN Jakarta Pusat,
Pemprov DKI Jakarta juga membuat aturan selama penerapan
PSBB. Diantaranya, Kegiatan perkantoran di Jakarta harus tutup dan bekerja dari
rumah (work
from home). Hanya Ada 11 bidang usaha yang boleh berjalan dan tidak
boleh beroperasi penuh seperti biasa.
Kemudian seluruh tempat hiburan harus tutup, termasuk Ancol,
Ragunan, Monas, dan taman-taman kota, kegiatan belajar tetap berlangsung dari
rumah. Usaha makanan diperbolehkan, tapi tidak boleh makan di tempat. Hanya
untuk dibawa pulang atau diantar.
Tempat ibadah terbatas hanya bagi warga setempat dengan
menerapkan protokol yang sangat ketat. Transportasi publik dibatasi dengan
ketat jumlah dan jam operasionalnya, terakhir Ganjil-Genap untuk sementara
ditiadakan.
Supardi Sekjen DPP Federasi
Serikat Buruh KAMIPARHO Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (FSB
KAMIPARHO-KSBSI) mengatakan penerapan kembali PSBB total di DKI Jakarta
dinilainya bisa membawa dampak tidak baik. Terutama berdampak pada beban
ekonomi masyarakat kelas menengah bawah.
Pada saat penerapan PSBB pertama beberapa bulan lalu, Pemprov DKI
Jakarta memang memberikan bantuan sosial seperti sembako dan bantuan langsung
tunai (BLT) untuk masyarakat. “Namun bantuan yang diberikan juga tidak ada
jaminan meringankan beban ekonomi masyarakat secara berkelangsungan,” ucapnya,
saat diwawancarai, Jakarta, 14 September 2020.
Sebab, pada awal penerapan PSBB, menyebabkan puluhan ribu buruh/pekerja
terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan dirumahkan. Termasuk buruh di sektor
pariwisata dan hotel di Jakarta paling banyak yang terdampak. Alasan pengusaha menutup
usahanya, memang tak jauh dari alasan PSBB.
“Kami kuatir kalau Gubernur
Anies Baswedan kembali membuat kebijakan PSBB tahap kedua, besar kemungkinan
kasus PHK jilid dua. Apalagi banyak pengusaha nakal yang akan memanfaatkan
situasi ini. Bahkan status buruh yang dirumahkan juga banyak yang tidak diberi
gaji,” tegasnya.
Sarannya, Pemvrov DKI Jakarta tidak usah panik menyikapi pandemi
Covid-19, dengan menerapkan PSBB. Tapi ada baiknya, menangani wabah Corona,
Anies menggunakan pendekatan transisi dan dialog. Pihak Satpol PP bersama petugas
TNI/Polri harus lebih ketat dalam pengawasan protokol kesehatan, memutus rantai
penyebaran wabah Corona ditengah masyarakat.
Lanjutnya, kebijakan PSBB juga tak hanya mengancam buruh di sektor
formal. Buruh sektor informal pun ikut berdampak, seperti buruh kuli panggul
dan bangunan, ojek online, pedagang kecil. Oleh sebab itu, dia menegaskan PSBB bukan
jawaban ditengah sulitnya ekonomi dimasa pandemi Covid-19.
Intinya, Supardi menilai penerapan PSBB pertama dan new normal di DKI
Jakarta sangat banyak kelemahannya. Contohnya, setelah pemberlakukan new
normal, Anies justru banyak membuat kebijakan yang terlalu longgar. Seperti
membuka peraturan ganjil-genap, dinilainya justru bisa meningkatkan penyebaran
wabah Corona, karena masyarakat beralih naik kendaraan umum.
“Sehingga menimbulkan kepadatan diluar batas makismal didalam angkutan
umum. Jadi menurut saya penerapan new normal di DKI Jakarta memang banyak
gagalnya,” terangnya.
Terakhir, Supardi mendesak agar pemerintah dan Gubernur Anies Baswedan
memiliki kepedulian terhadap buruh yang terkena PHK dan dirumahkan. Dengan
menciptakan solusi lapangan kerja dan wirausaha. Sampai sekarang, nasib buruh
yang sudah kehilangan kerja ini masih banyak yang belum diperhatikan.
“Bahkan bantuan sosial dan program Kartu Prakerja masih belum tepat
sasaran. Karena masyarakat miskin, buruh terkena PHK yang tinggal di rumah
kontrakan, tidak memiliki KTP DKI Jakarta sangat banyak tidak mendapatkan
program bantuan sembako,” tandasnya. (A1)