Serikat Buruh, SDM dan Membaca Tantangan Zaman

Serikat Buruh, SDM dan Membaca Tantangan Zaman

KSBSI.ORG Elly Rosita Silaban Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) mengatakan Indonesia akan menyambut Bonus Demografi 2030. Dan diprediksi, negara ini perekonomiannya salah satu terkuat dikawasan Asia Pasifik. Karena itu, ia menyarankan pemerintah harus memprioritaskan peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) sejak dini, khususnya kepada angkatan muda.

Baca juga:  Launching Media Digital Network, KSBSI Siap Merebut Panggung Opini, Terima Kasih, Korwil KSBSI Berperan Besar Aksi Penolakan UU Cipta Kerja ,

Kata Elly, Bonus Demografi 2030 erat kaitannya dengan perkembangan teknologi. Jadi, sebuah bangsa yang tak mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman, maka akan tergilas. Karena itu, dia mendesak harus segera menyiapkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM. Khususnya bagi generasi muda, agar nantinya tidak kalah daya saing dengan negara lain.

“Saya nilai, masih banyak masyarakat kita masih phobia (takut) dengan dampak perubahan teknologi yang pesat sekarang ini. Padahal beradaptasi dengan perkembangan zaman itu penting, supaya kita tidak tersisihkan,” ujarnya.

Pemerintah sekarang ini memang sedang gencar membuat berbagai pelatihan (vokasi) dalam meningkatkan kualitas SDM. Bahkan beberapa Balai Latihan Kerja (BLK), peralatan pelatihannya telah diperbaharui berbasiskan teknologi digitalisasi, otomatisasi dan robotisasi.

“Tapi kalau masyarakatnya tidak ikut berpartisipasi, saya pikir akan bangsa kita sulit berkembang dalam daya saing kerja di era global. Sementara, saat Indonesia memasuki Bonus Demografi 2030, tenaga kerja asing akan banyak masuk untuk bekerja,” ungkapnya.

Sarannya merubah pola pikir (mindset) itu penting saat ini. Generasi muda harus mulai mengasah ketrampilan kerja mulai saat ini. Kalau ada program vokasi dari pemerintah yang dianggap mampu meningkatkan SDM, Elly menyarankan harus diambil.

“Jadi jangan hanya menyalahkan dan mengharapkan uang dari bantuan sosial saja dari pemerintah ditengah pandemi Covid-19 ini. Tapi kalau ada program vokasi justru di cuekin,” lugasnya.

Tepatnya, dia menerangkan negara yang mandiri tidak mau ketergantungan dengan pemerintahnya. Artinya, dia berharap masyarakat sudah waktunya merubah mindset masalah disiplin dan tantangan. Jangan lagi bermanja-manja, karena perubahan yang terjadi pesat sekali.

Elly juga mengkritik bahwa program vokasi yang dijalankan pemerintah dalam beberapa tahun ini belum menyentuh masyarakat. Justru yang lebih mengetahuinya masih dikalangan serikat buruh/pekerja. Oleh sebab itu, dia menyarankan pemerintah harus lebih intens mensosialisasikannya ke akar rumput.

Dengan disahkannya Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, dia juga mengatakan akan berdampak pada tantangan serikat buruh/pekerja dalam membela hak-hak normativ buruh. Nah, disatu sisi, secara pribadi bukan tidak mungkin suatu saat undang-undang ini menjadi referensi buruh.

“Contohnya, dulu waktu disahkannya UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, KSBSI sangat menolak keras. Tapi setelah hadirnya UU Cipta Kerja, justru undang-undang ketenagakerjaan yang lama ini menjadi referensi,” ucapnya.

Elly menegaskan bahwa KSBSI tidak pernah menolak keseluruhan undang-undang ini. Namun yang ditolak, ada beberapa pasal berpotensi mendegradasi hak buruh di dunia kerja. Makanya KSBSI melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Termasuk, serikat buruh/pekerja juga harus bisa beradaptasi serta membaca situasi setelah diberlakukannya UU Cipta Kerja. “Sejak awal pembahasan kita sudah menolak, tapi mau tidak mau KSBSI harus bisa beradaptasi. Kita tidak boleh arogan menolak UU Cipta Kerja dengan cara berpikir kaku,” jelasnya.

Karena risiko pemerintah dalam membuat undang-undang pasti ada yang menjadi korban demi investasi dan lapangan kerja. Dan kali ini buruh kembali menjadi korbannya. Walau produk UU Cipta Kerja lebih banyak kepentingan investor, Elly mengatakan kedepannya KSBSI lebih fokus memperjuangkan status kerja kontrak, upah sektoral dan perlindungan jaminan sosial. Dari soal hak kesehatan, jaminan pensiun setelah tidak bekerja lagi.

“Kalau pun kita melawan tidak usah frontal lagi, lebih banyak sia-sianya dan menghabiskan tenaga, energi serta pikiran. Intinya serikat buruh tidak boleh mati, setelah hadirnya UU Cipta Kerja, tapi harus bisa membaca arah perubahan zaman,” pungkasnya.

Kemudian KSBSI mulai merubah pola gerakannya dalam merekrut anggota. Dan tidak mau lagi terjebak konflik internal. Sebab, jumlah konfederasi dan serikat buruh/pekerja tiap tahun terus meningkat. Namun minat masuk serikat buruh berkurang dan jumlah anggota terus menurun serta rentan konflik internal berkepanjangan.

“Menurut saya masalah ini harus menjadi evaluasi serius. Sekarang ini ada 16 konfederasi serikat buruh, namun posisi tawar politiknya semakin lemah mempengaruhi pemerintah,” ungkapnya.

Karena itu, menurut Elly memang sudah waktunya semua konfederasi serikat buruh/pekerja bersatu dan masing-masing meninggalkan sikap arogan. Dia menegaskan, bahwa konflik dan perpecahan, bukan masalah prinsip ideologi masing-masing organisasi. “Melainkan karena masih mengedepankan sikap egois,” tutupnya.  (A1)  

Komentar