KSBSI.ORG, Situasi politik pasca kudeta Militer di negeri Myanmar kian memanas. Ratusan ribu masyarakat sipil turun ke jalan menolak kudeta tersebut, karena dianggap memberangus kebebasan hak berpendapat, berkumpul dan proses demokrasi yang sudah dibangun, pasca rezim diktator. Bahkan, militer Myanmar pun semakin meningkatkan tindakan represif kepada kelompok masyarakat yang melakukan aksi demo.
Baca juga: Sikap Resmi KSBSI, Menolak Kudeta Militer Myanmar ,
Sampai hari ini, militer masih terus menangkap
dan menahan ratusan orang tanpa proses yang semestinya. Undang-undang dunia
maya yang sedang dirancang, akan menempatkan seluruh penduduk dibawah
pengawasan militer. Sehingga sangat mengancam kebebasan berbicara di ruang
publik. Sementara, pekerja diberbagai sektor ekonomi utama di Myanmar masih
melakukan aksi mogok kerja dan didukung dukungan publik luas.
Sharan Burrow, Sekretaris Jenderal Konfederasi
Serikat Buruh Internasional (ITUC) mengatakan undang-undang dunia maya yang
sedang dirancang militer Myanmar sangat
berpotensi mengancam demokrasi di negara itu. Pasalnya, militer akan
mengendalikan semua komunikasi di Myanmar.
“Kalau militer sudah membungkam demokrasi,
maka Hak Asasi Manusia (HAM) pun akan ikut diberangus,” ujarnya.
Dia juga menerangkan bahwa dampak kudeta
militer itu memiliki efek buruk terhadap ekonomi masyarakat Myanmar. Termasuk
berdampak pada perusahaan asing mana pun yang terus beroperasi di Myanmar akan
tunduk pada pengawasan ketat. Serta dipaksa untuk bekerja sama militer dengan
cara membuat mereka dan pekerjannya menghadapi bahaya hukum yang serius di luar
Myanmar. ”
Tegasnya, Sharan Burrowm mengatakan
undang-undang dunia maya yang dirancang merupakan kejahatan dunia maya. Sangat
bertentangan dengan kebebasan berserikat dan berkumpul. Undang-undang dunia
maya tersebut juga sangat mengancam segala bentuk aktivitas serikat
buruh/pekerja di Myanmar maupun organisasi pengusaha, karena bertentangan
dengan prosedur ILO.
Dikabarkan pemimpin kudeta militer di Myanmar
Jenderal Min Aung Hlaing, akan segera menandatangani undang-undang tersebut.
Kelompok pro demokrasi menganggap kudeta militer itu, negara Myanmar kembali
pada zaman kegelapan. Min Aung Hlaing beserta petinggi jenderalnya memiliki dua
tujuan utama. Yaitu membungkam setiap kebebasan berpendapat rakyat Myanmar, dan
untuk menghentikan informasi tentang penindasan mereka terhadap hak-hak dan
prinsip kebebasan bersuara yang menjangkau dunia luar.
“Dengan
cara itu mereka berharap untuk tetap mengontrol ekonomi, sehingga militer dapat
terus menjarah negara hingga milyaran dolar, untuk keuntungan pribadi mereka
sendiri. Junta mengatakan kepada dunia bahwa mereka menghormati hak asasi
manusia, tetapi itu adalah kebohongan yang mencolok. Para jenderal harus
diisolasi, dan keuntungan bisnis mereka dihentikan, ”kata Burrow. (A1)