KSBSI.org, Pada Desember 2021, Ida Fauziyah Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) mendesak agar semua pengusaha memberikan upah layak untuk pekerjanya sesuai peraturan. Dia juga menyinggung, bahwa masih banyak perusahaan yang tidak patuh pada aturan Struktur dan Skala Upah. Berdasarkan catatan dari pemerintah, sampai akhir tahun 2021, hanya 23 persehn perusahaan yang sudah menerapkannya, selebihnya belum menjalankannya.
Baca juga: Pertemuan KTT G20 Menjadi Momentum Indonesia Untuk Memiliki Posisi Dibidang Ketenagakerjaan,
Ida Fauziyah berkomitmen, pada 2022 ini dirinya bakal mendorong
agar penerapan Struktur dan Skala Upah bisa dilakukan di semua perusahaan untuk
meningkatkan kesejahteraan buruh. Pihaknya juga bakal meningkatkan berbagai
bentuk sosialisasi dan bimbingan teknis terkait aturan tersebut.
“Bagi pengusaha yang tidak melaksanakan, akan
dikenakan sanksi teguran sampai perusahaannya akan dibekukan oleh pemerintah,”
ucapnya.
Sutrisna SH dari Lembaga Bantuan Hukum Konfederasi
Serikat Buruh Seluruh Indonesia (LBH KSBSI) menilai peraturan Struktur dan Skala
Upah yang dibuat pemerintah memang tujuannya baik. Tapi, jika dikaji dalam
perspektif hukum soal sanksi bagi perusahaan yang tidak mematuhinya, dia
menilai aturannya masih lemah.
“Apalagi, setelah disahkannya Undang-Undang (UU) Nomor
11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, saya nilai status hubungan kerja buruh di
perusahaan itu semakin tidak jelas dalam urusan kontrak kerjanya,” ucapnya,
saat diwawancarai di Kantor KSBSI, Cipinang Muara Jakarta Timur, Rabu
(2/2/2022).
Sutrisna juga menilai penerapan Struktur dan Skala
Upah di perusahaan nantinya justru lebih menguntungkan perusahaan. Sebab si
pengusaha akan membuat aturan baru, dengan membuat kebijakan kontrak dibawah 1
tahun. “Bisa saja nanti kontrak kerja untuk buruh hanya 9 bulan,” ungkapnya.
Artinya, penerapan Struktur dan Skala Upah sekarang
ini yang berhubungan dengan PP Nomor 36 Tahun 2021 Tentang Pengupahan, legalitasnya
tidak kuat. Ditambah petugas pengawasan ketenagakerjaan di tingkat provinsi
masih sangat lemah. Serta kurang memiliki kekuatan hukum yang kuat. Padahal
kalau melihat produk Permenaker No. 1 Tahun 2017 Tentang Struktur dan Skala
Upah, justru ada sanksi pidana kepada perusahaan kalau tidak menaatinya.
Nah, penerapan Struktur dan Skala Upah tahun ini juga kontradiksi
dimasa pandemi Covid-19. Pasalnya, saat ini pun banyak perusahaan mengalami
krisis keuangan. Kalau pun nantinya pemerintah memberikan sanksi pembekuan
kepada perusahaan karena melanggar aturan ini, tentu bertentangan dengan kebijakan
Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“Karena Jokowi sendiri sedang gencar-gencarnya
mengundang investor dari dalam dan luar negeri untuk membuka lapangan pekerjaan
di negara ini,” pungkasnya.
Menurutnya, saat Menaker mendesak agar perusahaan wajib
menjalankan Strutur dan Skala Upah, sepertinya dia sedang membuat pengalihan
isu, dibalik kecemasan buruh yang lagi banyak menolak upah murah. Nah, kalau dikaji
secara kritis, kebijakannya itu tidak ada kekuatan hukum yang mengikat. Karena,
selain peraturan tersebut, sampai hari ini masih banyak pengusaha nakal tidak
patuh membayar Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dari yang sudah ditetapkan
pemerintah.
“Padahal, kalau mengacu dari peraturan ketenagakerjaan,
pengusaha yang tidak memberikan UMK sesuai aturan pemerintah ada sanksi
pidananya. Tapi faktanya justru berbalik, penegakan hukum dalam ketenagakerjan
kita masih tumpul,” ungkapnya.
Butuh
Keseriusan
Dia juga menyampaikan kalau pemerinta membuat
peraturan tersebut, jangan sekadar retorika, tapi harus sesuai fakta. Kalau ada
perusahaan terbukti melakukan pelanggaran, maka pihak pengawas ketenagakerjaan
berani menindak tegas. Bukan lari dari tanggung jawab dan memberikan alasan
yang tidak masuk akal.
“Saya berharap peraturan Struktur dan Skala Upah juga
jangan sekadar jargon. Namun harus bisa membuktikannya untuk memihak kesejahteraan
buruh,” lugasnya.
Contoh logikanya, seandainya perusahaan mau menjalankannya,
apakah pengusaha mau menyesuaikan upah bagi buruhnya yang sudah bekerja diatas
15 atau 20 tahun? Sebab, standar UMK menurut standar Struktur dan Skala Upah sekarang
ini sebesar 0 sampai 1 tahun.
“Bagi saya, ini menjadi pertanyaan sendiri kepada
Kemnaker yang harus segera dijawab,” ujarnya.
Intinya, ia menegaskan penerapan Struktur dan Skala
Upah kalau tidak ada komitmen yang kuat dari pemerintah, maka tidak ada
manfaatnya. Namun, kalau dijalankan serius, manfaatnya sangat positif bagi
buruh. Oleh sebab itulah, Sutrisna menyarankan peraturan ini ada baiknya
dilengkapi aturan hukum yang mengikat.
Terakhir, agar perusahaan patuh menjalankan penerapan
Struktur dan Skala Upah, dia mengatakan peran serikat buruh sangat berperan
penting untuk memperjuangkannya. Karena, sejak peraturan ini dijalankan dari
tahun 2017, faktanya masih banyak perusahaan yang tida menjalankannya.
“Niat pemerintah memang sudah bagus membuat kebijkakan
Struktur dan Skala Upah. Tapi aturan ini hanya sekadar formalitas dan tidak
dipatuhi oleh perusahaan, maka hanya menimbulkan kekecewaan buat buruh,”
tandasnya. (A1)