Di Acara Festival Demokrasi Energi, KSBSI Mendorong Terbentuknya LKS Tripartit Tentang Perubahan Iklim

Di Acara Festival Demokrasi Energi, KSBSI Mendorong Terbentuknya LKS Tripartit Tentang Perubahan Iklim

Markus Sidauruk saat menjadi pembicara di acara Festival Demokrasi Energi di Jakarta, Jum

Isu transisi energi ke energi bersih dan terbaharukan belum dibahas perencanaannya oleh Kementerian terkait, baik Kementerian ESDM maupun Kementrian Perindustrian, sehingga Kementerian Tenaga Kerja yang membidangi ketenagakerjaan belum juga memiliki rencana kerja atas persoalan transisi tersebut. Oleh karena itu, KSBSI mendorong pembentukan sebuah kelembagaan LKS Tripartit Plus untuk menangani berbagai isu perubahan iklim, baik di tingkat nasional hingga tingkat kabupaten/kota. Dimana keanggotaanya terdiri dari pemerintah, pengusaha, serikat buruh/serikat pekerja, akademisi dan LSM (pemerhati lingkungan), sehingga perencanaan dan aksi penurunan emisi serta isu transisi energi dapat segera terwujud dan berkeadilan.

Baca juga:  Just Transition Jadi Salah Satu Tuntutan Demo KSBSI di Istana Negara,

KSBSI.ORG, JAKARTA - Markus Sidauruk selaku Deputi Bidang Program Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) mengatakan jika kita ingin bicara demokrasi energi yang berkeadilan hendaklah cara pandang, kita letakan secara global proporsional.  

"Yang pertama, melihat belahan bumi utara dan  belahan bumi bagian selatan." kata Markus saat menjadi pembicara di acara Festival Demokrasi Energi di Jakarta, Jum'at (11/11/2022).

"Bumi belahan utara merupakan penyumbang terbesar emisi CO2 terkait perubahan iklim, sedangkan belahan bumi selatan dapat dikategorikan sebagai non penyumbang. Belahan bumi bagian utara didominasi oleh negara -negara maju sedangkan belahan bumi bagian selatan di dominasi oleh negara-negara berkembang dan terbelakang." jelasnya. 

Selain itu, Markus juga mengatakan bahwa demokrasi energi yang berkeadilan harus juga melihat konteks lainnya, seperti, antara negara-negara maju dengan negara-negara berkembang dan terbelakang, antara perusahaan raksasa dan perusahaan kecil (domestik), antara sikaya dan si miskin, antara generasi saat ini dengan generasi mendatang.

""Bagaimana konteks keadilannya” kita harus terlebih dahulu melacak sejauh mana kontribusi emisi CO2 di atmosfir yang dihasilkan secara global kemudian secara spesifik di tingkat negara, perusahaan hingga individu." ungkapnya. 


MengutJason Hical [Jason Hickel. Quantifying. Quantifying national responsibility for climate breakdown: an equality-based attribution approach for carbon dioxide emissions in excess of the planetary boundary. Jurnal Lancet Planet Health, Vol. 4, 2020]. 

Jika mengutip Jurnal Lancet Planet Health, Vol. 4, 2020 yang ditulis oleh Jason Hical berjudul "Quantifying national responsibility for climate breakdown: an equality-based attribution approach for carbon dioxide emissions in excess of the planetary boundary (Mengukur tanggung jawab nasional untuk kerusakan iklim: pendekatan atribusi berbasis kesetaraan untuk emisi karbon dioksida yang melebihi batas planet)," disebutkan, mengukur Tanggung Jawab Negara atas kerusakan iklim dengan menganalisis sejarah emisi dengan menggunakan pendekatan basis data ganda dari tahun 1850 sd 2015.

Menurut Hical, belahan bumi utara menyumbang 92% emisi CO2, sedangkan belahan bumi selatan menyumbang emisi CO2 sebesar 8%, sedangkan negara-negara maju di belahan bumi utara menyumbang 90%, demikian juga negara-negara di belahan bumi selatan menyumbang 10% dari total emisi CO2 global.    

Di tingkat Negara; Amerika Serikat bertanggung jawab atas 40% emisi CO2 global dan Uni Eropa (EU-28) bertanggung jawab atas 29% emisi CO2 Global, di susul Rusia 8%, Jepang 5%, Kanada 3% dan Ukraina 2%. Sedangkan Indonesia, India dan China berada dalam batas pangsa adil mereka.

Lebih lanjut, Markus mengatakan, di tingkat perusahaan, "korporasi besar” penyumbang emisi, tentunya lebih bertanggung jawab dari pada usaha menengah-kecil penyumbang emisi.. 

Masuknya Multinasional Corporasi melalui Penanaman Modal Langsung (FDI) ke negara-negara berkembang telah nyata mendorong pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja baru. Namun secara lambat laun, mereka juga mempengaruhi kebijakan-kebijakan pasar domestik agar lebih terbuka dan bersaing sempurna.

"Persoalannya, hal ini tentunya tidak mungkin terjadi, dimana perusahaan domestik yang gurem harus bersaing dengan perusahaan raksasa. Situasi ini mengakibatkan terjadinya ketimpangan struktural dalam persaingan ekonomi, dimana sebagian perusahaan domestik kemudian menjadi affiliasinya, rantai pasok (supply chain), atau sub kontrak dari Corporasi tersebut." beber markus

Ketidakadilan struktural tersebut membawa dampak pada ketidakadilan sosial di tengah masyarakat pada negara berkembang dan terbelakang.

Markus juga menekankan bahwa perencanaan penurunan emisi di Indonesia harus juga melihat konteks keadilan tersebut, terlebih lagi saat ini Indonesia masih membutuhkan lapangan pekerjaan yang sangat banyak bagi para penganggur. 


Kendala lainnya, seperti dikatakan Markus yakni tentang bantuan internasional terkait aksi penurunan emisi, atau mengurangi energi fosil dan memberdayakan energi baru terbarukan.

"Target penurunan emisi berdasarkan  Dokument NDC yakni sebesar 26%0 BAU hingga 2020 dan akan mencapai 40% Tahun 2030 dengan bantuan International. Sementara, bantuan Internasional terkait penurunan emisi tak kunjung terwujud." lanjutnya 

Markus juga mengaku sudah melihat data laporan Kementerian Keuangan bahwa, isu transisi energi ke energi bersih dan terbaharukan belum dibahas perencanaannya oleh kementerian terkait, baik Kementerian ESDM maupun Kementrian Perindustrian, sehingga Kementerian Tenaga Kerja yang membidangi ketenagakerjaan belum memiliki rencana kerja atas persoalan transisi tersebut.

Oleh karena itu, KSBSI mendorong pembentukan sebuah kelembagaan LKS Tripartit Plus untuk menangani berbagai isu perubahan iklim, baik di tingkat nasional hingga tingkat kabupaten/kota. Dimana keanggotaanya terdiri dari Pemerintah, Pengusaha, serikat buruh, Akademisi dan LSM (pemerhati lingkungan), sehingga perencanaan dan aksi penurunan emisi serta isu transisi energi dapat segera terwujud dan berkeadilan. Demikian dikabarkan.  (RED/HTS/MKJ)

Komentar