10 Alasan KSBSI Uji Formil Perppu Cipta Kerja

10 Alasan KSBSI Uji Formil Perppu Cipta Kerja

KSBSI saat mengajukan gugatan uji formil dan materiil di Mahkamah Konstitusi, Senin (9/1/2023) lalu. (Foto: RedHuge/Media KSBSI Dokumen).

Bahwa penghapusan berbagai pasal Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU 13/2003) dalam Perpu 2/2022 sedangkan pengganti norma hukum dalam pasal yang dihapus tidak diatur dalam Perpu 2/2022 seperti pasal-pasal yang mengatur besaran pesangon atas terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK), menurut Pemohon menimbulkan ketidakpastian hukum di bidang hukum pesangon.

Baca juga:  Jadwal Sidang Gugatan Perppu Cipta Kerja yang Diajukan KSBSI, Perkara Nomor 6/PUU-XXI/2023,

KSBSI.ORG, JAKARTA - Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) telah bersiap mengikuti persidangan dalam perkara gugatan uji formil dan materiil Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.

Jadwal sidang telah ditetapkan Majelis Mahkamah Konstitusi (MK) pada esok hari, Kamis 19 Januari 2023 sekira pukul 13.00 WIB yang dilakukan secara daring.

Lantas apa yang menjadi alasan KSBSI mengajukan uji Formil dan Materiil atas terbitnya Perppu Cipta Kerja? Seperti dikutip dari dokumen 'HIGHLIGHT'yang akan disampaikan KSBSI pada sidang esok hari, disebutkan:

Alasan Pengujian Formil

"ALASAN PENGUJIAN FORMIL

1. Bahwa Pemohon [KSBSI] beranggapan pembentukan Perpu 2/2022 tidak memenuhi syarat ihwal kegentingan yang memaksa sebagaimana dimaksud Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, kemudian tidak didasarkan pada asas kejelasan rumusan dan tidak mencerminkan asas kepastian hukum sebagaimana dimaksud Pasal 5 huruf f dan Pasal 6 ayat (1) huruf i UU 12/2011, serta bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 atas alasan-alasan yang Pemohon uraikan berikut ini;

2. Bahwa baik UUD 1945 maupun UU 12/2011 tidak mengatur dan tidak menjelaskan pengertian atau syarat atau parameter “kegentingan yang memaksa”, karenanya Mahkamah dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 pada halaman 19 paragraf [3.10] dan [3.11] telah membuat 3 (tiga) syarat kumulatif adanya kegentingan yang memaksa, yaitu:

1) Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;

2) Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;

3) Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan; 

3. Bahwa Pemohon berpendapat saat ini tidak ada keadaan atau kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat dan tidak terjadi kekosongan hukum, khususnya di bidang ketenagakerjaan. Bank Indonesia masih membuat prediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tetap kuat pada kisaran 4,5 sampai 5,3%, dan akan terus meningkat menjadi 4,7 sampai 5,5% di tahun 2024, dan inflasi di tahun 2023 akan menurun menjadi 3%, dan tahun 2024 diperkirakan akan turun ke level 2,5% (vide Bukti P-9). Target investasi tahun 2022 lalu sudah tercapai Rp 892,4 triliun sampai September 2022 dari target Rp 1.200 triliun (vide Bukti P-10). Dan Pemerintah juga masih membuat target investasi tahun 2023 ini sebesar Rp 1.250 triliun hingga Rp 1.400 triliun (vide Bukti P-11). Demikian juga dibidang hukum ketenagakerjaan tidak terjadi kekosongan hukum. Berbagai peraturan perundang-undangan di bidang hukum ketenagakerjaan, walaupun diantaranya masih ditentang buruh/serikat buruh tetap dipatuhi pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh secara terpaksa, namun tidak sampai berakibat terjadinya kegentingan atau bahaya atas ketertiban dan keamanan negara. Penentangan yang dilakukan tetap berjalan secara demokrasi hukum;

4. Bahwa norma hukum yang dituangkan dalam Perpu 2/2022 tidak memenuhi asas kejelasan rumusan dan asas kepastian hukum sebagaimana dimaksud Pasal 5 huruf f dan Pasal 6 ayat (1) huruf i UU 12/2011, dan bahkan bertentangan dengan Pasal 64 ayat (1b) dan Pasal 97A UU 13/2022 yang baru saja dibentuk oleh pembentuk undang-undang untuk menampung metode omnibus;

5. Bahwa penghapusan berbagai pasal Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU 13/2003) dalam Perpu 2/2022 sedangkan pengganti norma hukum dalam pasal yang dihapus tidak diatur dalam Perpu 2/2022 seperti pasal-pasal yang mengatur besaran pesangon atas terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK), menurut Pemohon menimbulkan ketidakpastian hukum di bidang hukum pesangon. Bahkan dengan pembuatan undang-undang metode omnibus sekalipun tidak dibenarkan menghapus pasal-pasal tersebut sesuai norma Pasal 64 ayat (1b) dan Pasal 97A UU 13/2022. Pasal 64 ayat (1b) dan Pasal 97A hanya membolehkan membuat norma hukum baru atau mengubah norma hukum yang telah diatur dalam UU 13/2003 ATAU sekaligus Perpu 2/2022 mencabut UU 13/2003;

6. Bahwa Pemohon juga beranggapan terdapat berbagai norma hukum atau materi muatan Perpu 2/2022 tidak memenuhi asas kejelasan rumusan sebagaimana dimaksud Pasal 5 huruf f UU 12/2011. Satu contoh kata “hari” pada Pasal 154A ayat (1) huruf i yang menyatakan, pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan harus memenuhi syarat mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri. Padahal Pasal 1 angka 12 Perpu 2/2022 telah mengatur bahwa, “Hari” adalah hari kerja. Pertanyaannya adalah: “Untuk memenuhi syarat pengunduran diri apakah pekerja/buruh mengajukan permohonan secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja atau 30 (tiga puluh) hari tanpa dihitung hari libur resmi?”;

7. Bahwa Perpu 2/2022 adalah pengganti UU 11/2020 tentang Cipta Kerja. Sedangkan Mahkamah telah melakukan pengujian konstitusional pembentukan UU 11/2020, dan dalam Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 pada amar angka 3 dalam pokok permohonan telah dinyatakan pada pokoknya, pembentukan UU 11/2020 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan.” dan pada amar angka 5 dalam pokok permohonan juga diperintahkan pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan UU 11/2020;

8. Bahwa salah satu alasan Mahkamah menyatakan pembentukan UU 11/2020 cacat formil atau inkonstitusional bersyarat adalah proses pembentukan UU 11/2020 tidak memenuhi asas keterbukaan.  Kemudian, menurut hemat Pemohon dengan mencermati pertimbangan hukum dan dikaitkan dengan amar angka 5 dalam pokok permohonan, Putusan Mahkamah Nomor 91 tersebut menghendaki perbaikan UU 11/2020 tentang Cipta Kerja oleh Presiden dan DPR adalah dengan cara atau proses legislasi biasa dengan keterpenuhan syarat asas-asas pembentukan undang-undang yang telah ditentukan. Karenanya Pemohon berpendapat Presiden tidak dapat  memperbaiki UU 11/2020 melalui Perpu melainkan harus dengan Undang-Undang melalui 5 (lima) tahapan pembentukan undang-undang (law making process). Pendapat mana diperkuat dengan adanya pendapat Mahkamah secara terukur dan baik sebelum mempertimbangkan dalil-dalil pemohon tentang bagaimana pembentukan undang-undang (law making process) yang sebenarnya sebagaimana pertimbangan paragraf [3.17], halaman 384 s.d halaman 394;

9. Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, maka beralasan menurut hukum permohonan Pemohon atas pengujian formil Perpu 2/2022 terhadap UUD 1945 dikabulkan, dan dinyatakan Perpu 2/2022 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

10. Bahwa untuk menghindari kekosongan hukum dibidang ketenagakerjaan mohon Mahkamah menyatakan berlaku kembali pasal-pasal UU 13/2003 yang diubah dan dihapus Perpu 2/2022 dan seluruh peraturan turunannya yang terkait terhitung sejak putusan diucapkan".

Pemeriksaan Pendahuluan

Diketahui, MK telah menetapkan sidang perdana untuk perkara Nomor 6/PUU-XXI/2023 yang diajukan KSBSI.

"Berdasarkan Pasal 41 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang berbunyi, "Untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim konstitusi wajib memanggil para pihak yang berperkara untuk memberi keterangan yang dibutuhkan dan/atau meminta keterangan secara tertulis kepada lembaga negara yang terkait dengan permohonan" dan atas perintah Majelis Hakim, dengan ini memberitahukan kepada:

Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), dalam hal ini diwakili oleh Elly Rosita Silaban (Presiden) dan Dedi Hardianto (Sekretaris Jenderal) untuk selanjutnya disebut sebagai --- Pemohon;

yang memberikan kuasa kepada Harris Manalu, S.H., dkk

dalam perkara Nomor 6/PUU-XXI/2023 perihal Pengujian Formil dan Materiil Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja , agar menghadap dalam Sidang Panel Mahkamah Konstitusi dimaksud secara daring (online) yang akan diselenggarakan pada:

hari : Kamis;

tanggal : 19 Januari 2023;

waktu : 13:00 WIB;

tempat : Ruang Sidang Pleno Lantai 2 Gedung Mahkamah Konstitusi Jalan Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta;

acara : Pemeriksaan Pendahuluan (I)."

Demikian salinan surat panggilan Sidang yang diinformasikan LBH KSBSI, Jumat (13/1/2023) lalu.


[Sumber: Kantorberitaburuh.com/REDHUGE/KBB]

Komentar