KSBSI.ORG: Yatini Sulistyowati Ketua Departemen Buruh Migran Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) mengatakan aktvis Pekerja Migran Indonesia (PMI) telah kecolongan. Pasalnya ada beberapa pasal perubahan dari UU No.18 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Pekerja Migran dimasukan ke Undang-Undang (UU) Cipta Kerja. Sehingga dinilai merugikan hak-hak PMI.
Baca juga: DPRD dan Pemkab Serang Mendukung Buruh, Menolak UU Cipta Kerja, Sekjen KSBSI: Buruh Dibohongi, Kami Siapkan Langkah Judical Review UU Cipta Kerja,
Bahkan, kata Yatinia selama pembahasan pasal sampai
disahkan pemerintah dan DPR tak ada melibatkan aktivis PMI dan masyarakat
sipil. Dia menjelaskan ada 3 pasal yang dirubah dalam Omnibus law UU Cipta
Kerja sehingga bisa merubah isi dari UU Perlindungan PMI No.18 Tahun 2017. Pertama,
yang dirubah adalah pasal pertama, mengatur ketentuan umum ayat 9 dan 16 terkait
tentang izin perusahaan penempatan PMI tidak lagi dikeluarkan Kementerian
Ketenagakerjaan (Kemnaker).
“Tapi dengan disahkannya UU Cipta Kerja, maka izin
langsung diberikan oleh pemerintah pusat (presiden dan wakil presiden),” ucap
Yatini, saat diwawancarai di Kantor KSBSI, Cipinang Muara, Jakarta Timur, Senin
19 Oktober 2020.
Menurutnya, kalau izin perusahaan penempatan PMI langsung
ditangani oleh presiden, sudah tidak masuk akal. Karena tugas kedua pemimpin negara
ini sudah banyak dan seharusnya tugas itu dipegang oleh Kemnaker. Kemudian ada
juga perubahan pada pasal 51 dalam UU No.18 Tahun 2017 Perlindungan PMI.
“Dimana, dijelaskan dalam UU Cipta Kerja, masalah Surat Izin
Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (SP3MI) tidak lagi dikeluarkan
oleh Kemnaker, tapi langsung dikeluarkan pemerintah pusat ddi UU Cipta Kerja,”
ungkapnya.
Kemudian, dalam undang-undang yang
lama, juga perubahan pada pasal 53. Mengenai prosedur bahwa Perusahaan
Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) sudah bisa membuka kantor cabang
diberbagai daerah. Termasuk, proses perekrutan, pelatihan sampai pemberangkatan
PMI tidak lagi dibawah tanggung jawab pemerintah melalui Layanan Terpadu Satu
Atap (LTSA).
“Melainkan semuanya akan kembali
diserahkan kepada pihak P3MI. Saya nilai, perubahan kebijakan ini sangat
berpotensi kembali ke masa lalu, akan banyak masyarakat kita yang bisa menjadi
korban perdagangan orang dan kasus pelanggaran HAM yang dilakukan perusahaan
nakal,” ujarnya.
Yatini menilai, dengan dimasukannya
beberapa pasal perlindungan PMI ke UU Cipta Kerja, dia menilai undang-undang
yang baru disahkan DPR RI, jauh lebih buruk dari produk yang dikeluarkan UU No.18 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Pekerja
Migran. Apalagi mandate turunannya dalam bentuk Peraturan Menteri (Permen) masih
banyak belum dibuat pemerintah selama 2 tahun.
“Jadi sama saja kita kembali akan melihat banyak
kejadian praktik perbudakan manusia Indonesia secara transparan yang dikirim ke
luar negeri kedepannya,” kata Yatini.
Jadi, dengan adanya penambahan pasal selundupan yang
dimasukan UU Cipta Kerja, Yatini menegaskan negara telah mengembalikan
praktik-praktik buruh yang lama. Karena lembaga negara dalam masalah izin,
pengawasan dan penindakan terhadap perusahaan P3MI yang melakukan pelanggaran semakin
lemah.
Yatini mengatakan tim hukum KSBSI akan melakukan uji
materi atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait perubahan
pasal-pasal yang merugikan PMI dalam UU Cipta Kerja. Karena pasal-pasal yang merugikan
PMI ini sangat merusak tatanan perundang-undangan dan tidak menjamin
kesejahteraan masyarakat menjadi lebih layak. (A1)