KSBSI.ORG, JAKARTA – Dewan Eksekutif Nasional Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) menolak keras berlakunya aturan pelaksanaan dari (Omnibus Law) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Aturan pelaksanaan itu dibuat dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres).
Baca juga:
Padahal,
Sidang gugatan Omnibus Law Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja (UU Cipta Kerja), khususnya klaster Ketenagakerjaan yang digugat (uji
formil dan materiil) oleh KSBSI belum diputus Mahkamah Konstitusi (MK).
Namun
pemerintah telah menerbitkan 51 peraturan Pelaksanaan dari UU tersebut yang
dapat diakses di situs https://jdih.setneg.go.id/Terbaru.
4 Peraturan
Pelaksanaan klaster Ketenagakerjaan
Dari 51
peraturan pelaksanaan UU Cipta Kerja, yang mendapat respon keras KSBSI adalah 4
aturan turunan klaster Ketenagakerjaan, yaitu:
1. Peraturan
Pemerintah nomor 34 tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA);
2. Peraturan
Pemerintah nomor 35 tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT),
Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, serta Pemutusan Hubungan Kerja;
3. Peraturan
Pemerintah nomor 36 tahun 2021 tentang Pengupahan;
4. Peraturan
Pemerintah nomor 37 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan
Kehilangan Pekerjaan.
DEN KSBSI
bersama 10 Federasi dan beberapa Komite perburuhan yang tergabung di dalamnya, telah
membahas aturan turunan tersebut. Dari ke-4 aturan itu, KSBSI menyoroti PP
nomor 35 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), Alih Daya, Waktu Kerja
dan Waktu Istirahat dan Pemutusan Hubungan Kerja.
“Setelah
kita telusuri, satuan ini ternyata jauh lebih buruk dari pada yang kita
bayangkan. Misalnya kami menyoroti berkurangnya banyak kompensasi. Misalnya ada
pembayaran 0,5 persen, ada pembayaran 0,75 persen, lalu misalnya yang dikatakan
di Undang undang sebelumnya bahwa ada 25 kali pesangon, 25 bulan gaji, ternyata
di peraturan pemerintah (no 35) tidak ada,” terang Presiden KSBSI, Elly Rosita
Silaban dalam keterangan resminya, Selasa (23/2/2021).
Selain itu
dalam ketentuan PP tersebut, Elly menyatakan sudah tidak ada lagi peran
mediator. Biasanya jika terdapat perselisihan perindustrial selalu ada peran
mediator untuk menyelesaikan berbagai masalah. Namun dalam PP 35 ini disebutnya
sudah tidak ada.
Demikian
juga dengan nilai besarnya pesangon yang diatur dalam PP 35 ini. Jika
diperaturan sebelumnya besaran pesangon diatur dalam 1 atau 2 kali ketentuan,
Menurutnya, aturan itu juga sudah dihilangkan.
“(di PP 35
ini) Semuanya sudah diatur dengan jelas dan (ketentuan besaran) pesangon itu
bisa diturunkan ketika keuangan perusahaan sudah tidak sehat. Siapa yang
mengetahui itu (sehat atau tidaknya perusahaan) kan kita tidak mengetahui itu,
begitu,” terangnya.
Misalnya
soal PKWT, ia menjelaskan, dalam aturan sebelumnya dulu PKWT diatur selama 3
tahun, tetapi di PP 35 ini PKWT bisa mencapai 5 tahun. Kalau pekerjaan itu
tidak selesai bisa disambung lagi, namun tidak ada ketentuan yang mengatur soal
itu.
Yang lebih
kontradiksi adalah buruh yang bekerja (sebagai) harian lepas dan sudah bekerja
lebih dari 3 bulan, diatur bahwa buruh akan menjadi PKWTT (pekerja tetap). Elly
mempertanyakan, bagaimana mungkin itu bisa menjadi PKWTT sementara buruh yang
kontrak (PKWT) 5 tahun saja tetap akan menjadi buruh kontrak setelah itu?
Siapkan Gugatan
Ia
menyatakan, sejauh ini, KSBSI masih belum dapat menyimpulkan ke-4 peraturan
pemerintah tersebut. Namun dari hasil analisa isi dari PP nomor 35 itu,
kemungkinan besar KSBSI akan kembali melakukan gugatan judicial review dan aksi
unjuk rasa.
“Jadi kita
sekarang ini masih belum ada konklusif (Kesimpulan) tapi melihat ini
kemungkinan besar kita akan melakukan gugatan dan juga akan melakukan aksi
(demonstrasi),” tegasnya.
Kesimpulan
akan dibuat setelah pembahasan ke-4 peraturan pelaksanaan itu selesai dibahas
di rapat internal KSBSI. Elly meminta kalangan buruh, terutama anggota KSBSI
bersabar.
“Sabar
kawan-kawan buruh di Indonesia, terutama anggota KSBSI bahwa ini sangat
jelimet, kita harus baca satu persatu, kata perkata karena ada pelecehan
kata-kata misalnya, dan atau, pengurangan hak-hak serikat buruh dan pesangon
dan soal kontrak alih daya dan segala macam.” terangnya.
“Kalau kita
tidak telaah atau tidak teliti pelan-pelan, kita bisa mengatakan bahwa ini
tidak ada apa-apa, ternyata memang sangat banyak masalah,” tandas Elly.
Pertempuran Hukum Belum Selesai
Menurutnya,
peraturan pelaksaan UU Cipta Kerja ini belum pantas untuk dibahas lebih lanjut
sebab belum ada putusan MK soal gugatan judicial review UU Cipta Kerja.
“Terlepas dari
itu, saya mohon maaf atas nama Presiden KSBSI, untuk semua anda yang mendengar,
terutama anggota KSBSI bahwa sebenarnya ini tidak pantas (dibahas) karena kita
masih menggugat judicial review. Kalau kita masih menggugat judicial review dan
belum ada kepastian dari sana (MK), ini sebenarnya belum bisa berlaku.” kata
Elly.
Namun karena
sudah beredar saat ini, maka menjadi wajib untuk dibaca. Sehingga, menurut dia,
eksistensi serikat buruh sebagai Pejuang Perburuhan atau aktivis buruh, harus
mengetahui apa yang ada di dalam aturan turunan ini.
“Karena tidak ada yang menjamin (gugatan) kita
menang atau kalah. Dengan melihat masalah-masalah ini, ada lagi upah padat
karya, berarti serikat buruh akan dihadapkan pada persoalan-persoalan yang
lain.” tegas Elly.
“Berarti
Konsentrasi kita terpecah, tadinya kita menolak (omnibus Law UU Cipta Kerja)
dan membawa ke judicial review. Ada lagi ini, berarti kita akan bertempur dan
pertempuran belum selesai kawan-kawan. Tetap semangat,” tandasnya.
Sidang Gugatan Judicial Review UU
Cipta Kerja
Untuk
diketahui, KSBSI Menggugat judicial review UU Cipta Kerja. Ada dua cakupan
gugatan yang diajukan KSBSI, yakni uji formil dan materiil. Sidang saat ini
masih berjalan di Mahkamah Konstitusi.
Untuk uji
formil, Ketua Tim Kuasa Hukum KSBSI, Harris Manalu menerangkan, gugatan itu
diajukan untuk menguji bahwa proses pembuatan atau pembentukan UU ini, tidak
sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945 berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
“Soal uji
materiil, KSBSI menguji 26 pasal. Tentang tenaga kerja asing, tentang
perjanjian kerja lisan, tentang PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu)
outsourching, pengupahan, tentang PHK-pesangon, dan pekerja migran,” terangnya.
Ketika
ditanya, mana dari 26 pasal yang dapat membawa dampak buruk untuk buruh, Harris
Manalu menjabarkan sejumlah pasal yang memberatkan buruh dan serikat buruh.
“Yang paling
berat bagi masa depan buruh adalah Undang undang 2003 yang direvisi, di bagian
kedua Bab empat UU Cipta kerja itu yang paling berat,” kata Harris.
Karena,
menurut Harris jika itu diberlakukan, maka pendegradasian terhadap hak-hak
dasar buruh, sangat-sangat ter-degradasi. “Itulah yang paling berat.”
tandasnya.
(RedKBB/KSBSI.org)