Tanggapan Perwakilan Tim Kuasa Pemohon KSBSI Terkait Keterangan Saksi Ahli Uji Materi UU Cipta Kerja

Tanggapan Perwakilan Tim Kuasa Pemohon KSBSI Terkait Keterangan Saksi Ahli Uji Materi UU Cipta Kerja

Trisna S.H perwakilan tim kuasa hukum pemohon uji materi atau judicial review (JR) Undang-Undang (UU) Cipta Kerja KSBSI

KSBSI.ORG, Jakarta - Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) kembali menggelar Sidang Perkara Nomor 91, 103, 105, 107/PUU-XVIII/2020,4, 6/PUU-XII/2021, Pengujian Formil dan Materiil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Terhadap UUD 1945. Sidang yang digelar ini melalui streaming ini untuk mendengarkan pendapat saksi ahli dan Konfedera si Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) salah satunya sebagai pemohon.

Baca juga:  ITUC: Krisis Politik di Tunisia Harus Diselesaikan Melalui Dialog,

Trisna S.H perwakilan tim kuasa hukum pemohon uji materi atau judicial review (JR) Undang-Undang (UU) Cipta Kerja KSBSI mengatakan keterangan 3 saksi ahli dalam persidangan hari ini dinilainya sudah bagus. Karena sudah bisa mewakili aspirasi dari pemohon.Dia menilai pendapat dari saksi ahli Feri Anshari akademisi dan pengamat hukum tata negara yang diajukan pemohon KSBSI, keterangannya sangat baik.

“Beliau menyampaikan dari awal pembuatan sampai pengesahan UU Cipta Kerja ada kesan dipaksakan pemerintah. Dan indikasinya lebih mengutamakan pesanan investor asing. Bahkan tata cara membuat undang-undangnya tidak mengikuti aturan konstitusional dan mengabaikan UUD 1945,” kata Trisna, saat diwawancarai, di Cipinang Muara, Jakarta Timur, Kamis (8/8/21).

Dia juga setuju, selama proses Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang dilakukan pemerintah, minim melibatkan partisipasi publik. Termasuk pada awal pembahasan pasal-pasal  kluster ketenagakerjaan, perwakilan serikat buruh/pekerja pun minim dilibatkan.

“Pemerintah baru mengundang dialog dari perwakilan serikat buruh/pekerja ketika sudah ramai melakukan aksi demo. Kalau tidak ada reaksi kritis dari aktivis buruh mungkin pemerintah tidak ada respon,” ujarnya.

Pada waktu pembahasan uji kelayakan Rancangan Undang-Undang (RUU), pemerintah terkesan langsung mengklaim peserta dialog setuju sosialisasi UU yang bakal disahkan. Herannya, justru setiap saran dan rekomendasi pasal yang disampaikan seperti dari KSBSI sangat minim diadopsi pemerintah. Artinya, pertemuan dialog itu sebatas formalitas saja, tidak pada subtansinya. 

“Padahal kalau kami pelajari isi draft RUU Cipta Kerja secara mendalam, terdapat beberapa pasal krusial yang bisa mendegradasi hak buruh di dunia kerja,” jelasnya.

Trisna menerangkan salah satu alasan KSBSI melakukan JR UU Cipta Kerja karena mengacu  pada Undang-Undang Nomor. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Lalu dilakukan revisi menjadi Undang-Undang Nomor. 15 Tahun 2019. Artinya, Trisna menilai proses pembuatan UU Cipta yang dibuat pemerintah tidak sesuai dengan peraturan.

“Kalau membuat Omnibuslaw Cipta Kerja, seharusnya pemerintah membuat sistem hukumnya dulu, supaya legalitasnya kuat. Tapi ini kan tidak ada. Sebab dalam Undang-Undang Nomor. 12 Tahun 2011 dan  Undang-Undang Nomor. 15 Tahun 2019 memang tak ada agenda Omnibuslaw,” ungkapnya.

Dirinya setuju jika dibuatnya Omnibuslaw untuk memangkas dan menyederhanakan perundang-undang yang tumpang tindih. Namun, apa yang diharapkan justru terbalik, bukan menghasilkan solusi, malah semakin rumit. Pasalnya, Undang-Undang Nomor.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan kwalitasnya lebih bagus dari pada UU Cipta Kerja.

“UU Cipta Kerja justru mengalami kemunduran dari pada UU ketenagakerjaan sebelumnya. Intinya kami tetap optimis, uji materi UU Cipta Kerja yang sedang diajukan ada harapan menang di MK, khususnya dalam uji materiil,” tutupnya. (A1)

 

 

Komentar