KSBSI.ORG, Jakarta - Data BPJS Ketenagakerjaan tahun 2019 terdapat 114.000 kasus kecelakaan kerja, tahun 2020 terjadi peningkatan pada rentang Januari hingga Oktober 2020 BPJS Ketenagakerjaan mencatat terdapat 177.000 kasus kecelakaan kerja.
Baca juga: Gonta Ganti Konsep Upah Minimum,
KSBSI.ORG,
Jakarta - Data BPJS Ketenagakerjaan tahun 2019 terdapat 114.000 kasus
kecelakaan kerja, tahun 2020 terjadi peningkatan pada rentang Januari hingga
Oktober 2020 BPJS Ketenagakerjaan mencatat terdapat 177.000 kasus kecelakaan
kerja.
Angka
tersebut tentu lebih besar jumlahnya, karena belum semua tenaga kerja dicover
oleh BPJS Ketenagakerjaan.
Berdasarkan
data BPJS Tenaga Kerja 2018 mencapai 147 ribu kasus. Kecelakaan ini
menyebabkan 4.678 orang atau 3,18 persen mengalami cacat, sedangkan 2.575 atau
1,7 persen meninggal dunia. Artinya, dalam satu hari sebanyak 19 orang peserta
BPJS Ketenagakerjaan mengalami kecacatan dan meninggal dunia.
Tentu
angka ini lebih besar juga dari angka sebenarnya yang dicover BPJS Tenaga
Kerja. Karena beberapa kecelakaan kerja yang fatal mayoritas buruhnya yang
meninggal dunia tidak menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan dan tak memperoleh
santunan. Seperti yang terjadi di Medan menewaskan 30 orang, hanya satu orang
yang diikutsertakan menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaa dan mendapatkan santunan.
Yang lain tidak mendapatkan santunan dan kompensasi struktural dari Negara.
Sama
halnya yang terjadi dengan kebakaran terjadi di PT Panca Buana, yang merupakan
pabrik pembuatan kembang api di Komplek Pergudangan Kosambi, Kab. Tangerang,
Kamis (26/10/2017). Korban meninggal dunia atas peristiwa tersebut mencapai 47
Orang. Dari jumlah tersebut, korban yang terdaftar sebagai peserta BPJS
Ketenagakerjaan sebanyak 3 orang saja yang
menerima santunan.
Bila
dihitung berdasarkan perbandingan ini, angka kecelakaan kerja berdasarkan data
santunan dari BPJS Ketenagakerjaan angkanya jauh lebih kecil. Angka buruh lepas
di perusahaan terus meningkat. Mayoritas buruh yang tidak mendapatkan santunan
dari BPJS Tenaga Kerja berstatus kontrak dan harian lepas. Yang justru
dipermudah perekrutannya di Omnibus Law Cipta Kerja.
Angka
kecelakaan kerja baik yang fatal dan ringan akan terus meningkat sepanjang
tahun. Kehilangan angka buruh produktif akan semakin meningkat seiring
banyaknya buruh yang mengalami kecacatan tetap.
Tidak
di perusahaan industry kecil menengah saja kecelakaan kerja fatal bisa terjadi.
Di perusahaan Global seperti di Salah satu peristiwa yang menjadi di PT Mandom
Indonesia Tbk pada 10 Juli 2015 di kawasan industri MM 2100, Cibitung, Bekasi,
Jawa Barat. Kebakaran tersebut merenggut
nyawa 22 orang buruh dan 37 orang
mengalami luka-luka akibat ledakan gas.
Juga Free Port Papua sepanjang 2013 dan 2014 berturut-turut
terjadi kecelakaan kerja yang merenggut nyawa.
Ada
beberapa factor tingginya kecelakaan kerja:
1. Lemahnya Pengawasan Ketenagkerjaan.
2. Perlengkapan Alat Perlindungan Diri
yang tidak standard.
3. Kondisi Kerja dan Tempat Kerja dan
alat kerja yang tidak standard.
4. Pendidikan K3 yang rendah dan kurang
sosialisasi.
5. Team K3 yang tidak fungsional di
Perusahaan.
6. Regulasi Perundangan yang lemah dalam
penerapan dan sanksi.
7. Koordinasi antar Lembaga yang kurang
efektif.
UU
No 1 tahun 1970 tentang K3 sudah terlalu tua dan tidak standard. Salah satunya
berkenaan dengan sanksi yang sangat ringan: Pada pasal 15 ayat 2, terdapat
pernyataan “Ancaman pidana atas pelanggarannya dengan hukuman kurungan
selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000,-
(seratus ribu rupiah).
Dengan
sanksi yang seperti ini, bagi para penanggung jawab di perusahaan tidak ada
rasa takut atau jera untuk melanggar standarisasi di perusahaan untuk
melindungi nilai-nilai kemanusiaan dan hak azasi buruh untuk memperoleh tempat
kerja yang aman.
Berkenaan
dengan perlindungan hak buruh tambang, sebaiknya juga menjadi tanggungjawab
Kementerian Ketenagakerjaan, bukan Kementerian Pertambangan. Karena Standard
ILO terkait hak buruh tambang di bidang K3 adalah bidang ketenagakerjaan, bukan bagian dari industry
(Pertambangan). Buruh tidak bisa dimanage sebagai komoditas (Industri), tapi
harus berbasis kemanusiaan (ketenagakerjaan).
Amandemen
UU No. 1 tahun 1970 sudah selayaknya dilakukan, untuk sekaligus meratifikasi
beberapa Konvensi ILO terkait K3 untuk buruh tambang Konvensi 176, Konvensi ILO
No. 188 tahun 2007 Mengenai Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan. Agar keamanan
kerja pada sektor Nelayan dan Kemaritiman juga dapat diadopsi. Karena saat ini,
perlindungan kemaritiman dan nelayan justru dibawah pengawasan Kementerian
Perhubungan bukan Ketenagakerjaan. Hal ini akan mempersulit akses bagi serikat
buruh, dan Pengawasan Ketenagakerjaan melakukan pengawasan dan investigasi.
Amandemen
UU No. 1 tahun 1970 ini juga terlalu umum dan tidak menspesifikasi jenis
industry dan kimia berbahaya dan prosedur pengawasannya. Sehingga perusahaan
dapat secara longgar dan sangat sulit untuk mengukur pelanggaran dalam
standarisasi K3.
Sudah selayaknya orang bekerja bebas dari rasa takut untuk kehilangan masa depannya akibat kecelakaan kerja, luka, terpapar radiasi, cacat tetap, kematian, penyakit akibat kerja. Negara harus memberi perlindungan yang kuat melalui UU yang modern dan mengikuti zamannya.