KSBSI.ORG,JAKARTA-Sebagai upaya pencapaian peningkatan kerja layak di industri sawit beberapa pokok-pokok pikiran JAPBUSI bersama dengan GAPKI maupun pihak Kementerian Ketenagakerjaan yang difasilitasi oleh ILO, CNV disampaikan pada pertemuan dengan Dirjen PHI-JSK. Kamis (17/6/2021).
Baca juga: Keterangan Saksi Dari DPR dan Pemerintah Terkait Uji Materi UU Cipta Kerja Bakal Tidak Sejalan,
Dita Indah Sari Staff Khusus Kementrian Tenaga Kerja Republik Indonesia
Pertemuan kali ini di pimpin oleh Staf
Khusus Kementrian Tenaga Kerja Republik Indonesia Dita Indasari dan dihadiri
oleh Perwakilan serikat buruh/pekerja antara lain : FKUI KSBSI, FSB.Hukatan KSBSI, FSB Lomenik KSBSI,
FSB.Kamiparho KSBSI,FTA KSBSI, KSPSI Yoris, KSPSI Andi Gani, dan F-Sarbumusi.
Merujuk pada persoalan yang terjadi,
pada audensi kali ini perwakilan dari berbagai serikat buruh/pekerja
menyampaikan pokok-pokok masalah di sektor buruh sawit dalam keterangan
release’nya antara lain:
1. HUBUNGAN KERJA
- Kontrak kerja PKWTT untuk pekerja
perkebunan sawit
Dengan adanya fleksibilitas yang lebih
tinggi pada UU CIKA sekarang ini dapat mengancam para pekerja perkebunan yang
dikontrak dengan sistem harian. Terdapat kasus-kasus yang muncul dimana para
pekerja harian bekerja selama bertahun-tahun dengan sistem kerja seperti ini.
Hal ini mengakibatkan para pekerja tidak dapat mendapatkan hak-hak mereka yang layak baik itu upah maupun kondisi kerja.
Berkenaan dengan hal itu, JAPBUSI dalam
keterangan release’nya mendorong
pemerintah agar segera:
A.
Memfasilitasi proses untuk memperjelas hal-hal tentang definisi
pekerjaan inti dan tidak inti yang senantiasa menjadi perdebatan untuk
menentukan tipe hubungan kerja.
B. Menetapkan dengan regulasi yang jelas terkait pekerjaan inti dan tidak
inti, batasan- batasan atau kriteria penetapan kriteria musiman, penghitungan
pekerjaan dengan berbasis satuan waktu di perkebunan dan pabrik pengolahan
kelapa sawit.
- Status kerja di perkebunan kelapa sawit, sikap dan peranan pemerintah,
kaitannya dengan UU No. 11 Tahun2021 (PP 35, PP36)
- Outsourcing
Dengan adanya pemberlakuan outsourcing,
dalam beberapa lokakarya yang diadakan selama 6 bulan terakhir oleh SP/SB yang
difasilitasi oleh ILO, Kami mendapatkan laporan bahwa mulai terjadi PHK para
pekerja dengan dalih untuk mulai masuk dalam proses perubahan kontrak ke
UUCIKA. Lebih lanjut lagi kecendrungan kontrak kerja yang dimiliki oleh para
pekerja yang bekerja pada perusahaan alih daya tidak lebih baik. Oleh karena
itu kami minta pemerintah dapat:
A. Menertibkan para perusahaan penyedia tenaga kerja
B. Melakukan pembinaan agar perusahaan-perusahaan outsourcing pada rantai
pasok kelapa sawit juga dapat memberikan perlakuan yang lebih baik bagi para
pekerja. Contohnya pemberian peralatan K3 yang memadai, dan kontrak yang
memberikan jaminan keamanan pekerjaan dan penghasilan serta perlindungan
jaminan sosialnya.
C. Pembinaan terhadap para perkebunan yang dikelola oleh petani mandiri
atau swadaya. Dalam konteks ini para petani yang mempekerjakan pekerja tidak
memahami norma- norma ketenagakerjaan yang berlaku.
2. DIALOG SOSIAL DAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Meskipun kondisi hubungan dialog sosial di Indonesia secara umum dikategorikan kondusif, namun di perkebunan kelapa sawit masih banyak ketimpangan yang terjadi. Masih banyak perusahaan yang belum menerima keberadaan serikat pekerja maupun serikat buruh, dan kondisi hubungan dalam kelembagaan bipartit di tempat kerja masih tidak berjalan dengan baik.
Hal yang sama juga ada pada tingkat sektoral, hingga sekarang meskipun Industri sawit sudah menjadi industri unggulan Nasional namun tidak ada forum tripartit yang menaungi untuk membahas isu-isu yang muncul terkait ketenagakerjaan di industri sawit.
Lanjut, Hal ini sudah lebih dari 20
tahun sejak Indonesia mengeluarkan berbagai peraturan tentang lembaga triparti
dan bipartit serta penghormatan kebebasan berserikat.
Oleh karenanya, meminta pemerintah untuk:
A.
Meningkatkan pembinaan tentang kebebasan berserikat dan perundingan
bersama di industri kelapa sawit
B.
Pembinaan lembaga-lembaga bipartit
dan pengembangan lembaga tripartit sektoral untuk menjadi wadah bagi
konstituen tripartit dalam mencari permasalahan terhadap berbagi isu-isu
ketenagakerjaan yang belum diatur dalam peraturan ketenagakerjaan yang ada.
C.
Pembinaan kapasitas serikat pekerja dan serikat buruh yang ada di
Industri kelapa sawit
D.
Penertiban lembaga-lembaga yang mengatas namakan serikat pekerja atau
serikat buruh namun tidak merefleksikan peran sebagai serikat pekerja atau
serikat buruh.
E. Memberikan pembinaan terhadap Forum Dialog Sosial Tripartit Pemerintah di daerah maupun di tingkat pusat.
Pada saat ini, dengan fasilitasi ILO,
GAPKI dan JAPBUSI mendukung pemerintah untuk dapat mengembangkan lembaga
dimaksud agar situasi Hubungan Industrial
di Kelapa sawit dapat semakn baik.
Pada tahun lalu beberapa inisiatif yang dikembangkan untuk mendorong kerja tripartite adalah:
o Serial dialog ketenagakerjaan antara Pengusaha
dan Serikat Pekerja/Buruh di Industri Kelapa sawit
· Pembuatan Protocol Covid-19,
· Melakukan Training bersama tentang Dialog
Sosial dengan ILO, Kemnaker dan GAPKI
· Training KNK Bersama
· Pengembangan rencana Forum Dialog Sosial
JAPBUSI dan GAPKI. Bersama dengan CNV, GAPKI dan JAPBUSI pun telah melakukan:
o
Pelatihan Perjanjian kerja bersama di Riau dan Kalimantan Barat.
o
Penguatan kapasitas serikat pekerja dan pengusaha.
F. Pemerintah perlu mengupayakan pembinaan terhadap serikat petani yang juga mulai marak muncuk terkait hubungan industrial
3. PENGUPAHAN
Dengan dihilangkannya peraturan tentang upah minimum sektoral dapat mengancam kesejahteraan buruh yang selama ini memang masih mendapatkan upada dibawah upah minimum yang berlaku di daerah baik itu propinsi maupun kabupaten. Berkenaan dengan hal yang terjadi, berharap pemerintah dapat:
o -Membuat regulasi atau panduan turunan dari PP 36 tentang pengupahan
untuk sektor perkebunan untuk menghindarkan multi interprestasi terhadap
peraturan tersebut di perkebunan kelapa sawit. Pada saat ini RSPO telah
mengeluarkan panduan untuk Living wage yang dapat membuat kebingungan para
pelaku baik itu perusahaan maupun pekerja.
o -Memperjelas pengaturan terkait tunjangan-tunjangan yang sering kali dimasukan sebagai komponen upah di perkebunan. Pada banyak kasus banyak perusahaan memasukan komponen tunjangan natura, tunjagan air, tunjangan perumahan sebagai komponen upah sehingga terlihat upah yang diberikan besar namun jumlah yang diterima oleh pekerja tidaklah sama dengan jumlah yang diterima, dan hal ini juga mempengaruhi jumlah upah yang dilaporkan ke BPJS jamsos sebagai dasar perhitungan bagian yang menjadi tanggungan pengusaha.
o -Panduan perhitungan upah berdasarkan satuan hasil yang berbeda-beda yang
sering kali menyebabkan pekerja untuk menggunakan tenaga kerja tambahan seperti
istri dan anak-anak mereka untuk mencapai quota .(*/Red)