KSBSI.ORG, Jakarta - Bulan ini, International Labour Organisation (ILO) menggelar sidang tahunan Konferensi Perburuhan Internasional atau International Labour Conference (ILC) ke-109, tentang pemulihan pandemi Covid-19 melalui daring. Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) salah satu serikat buruh dibawah naungan ILO pun ikut terlibat dalam sidang materi yag dibahas dan memberikan saran.
Baca juga: KSBSI Desak Pemerintah Bentuk Disnaker di Provinsi Gorontalo, Tak Hanya Isu Perburuhan, FPE KSBSI Sikapi Climate Change dan Just Transition, Tak Hanya Isu Perburuhan, FPE KSBSI Sikapi Climate Change dan Just Transition,
Elly Rosita Silaban Presiden KSBSI
mengatakan pada agenda pertemuan ILC ke 109 tahun 2021 ini, organisasinya ikut
bersuara menyikapi isu global terkait perburuhan. Seperti kebebasan berserikat
disetiap negara, perlindungan buruh migran dinegara tempatnya bekerja, dan menolak
eksploitasi pekerja anak.
Kemudian mendorong upah layak, mendesak
perlindungan jaminan sosial bagi pekerja di era teknologi digital, ratifikasi
konvensi 190, tentang penghapusan kekerasan dan diskriminasi di dunia kerja,
perubahan iklim (climate change) serta penerapan pajak global 20 persen
terhadap industri digitalisasi.
“Lalu mendukung kampanye internasional akan
pentingnya perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Karena sampai hari ini masih
banyak aktivis serikat buruh dan pegiat HAM seperti di negara Myanmar,
Hongkong, Honduras, yang dipenjara, dibunuh dan hak demokrasi diberangus,”
ucapnya, saat diwawancarai di Kantor KSBSI, di Cipinang Muara, Jakarta Timur,
beberapa waktu lalu.
Dia menjelaskan Covid-19 mengakibatkan
ratusan juta buruh di muka bumi ini sedang kehilangan pekerjaan, termasuk di
Indonesia. Tentu saja, KSBSI tidak bisa diam. Sebab, dampak pandemi menyebabkan
jumlah anggota serikat buruh mengalami penurunan, akibat banyak perusahaan
gulung tikar. Sehingga terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), pengurangan jam
kerja serta buruh dirumahkan.
“Pandemi ini juga membuat perekonomian
global terpuruk, negara kita pun terkena imbasnya dan sampai hari ini jutaan
buruh masih kesulitan mendapat pekerjaan baru,” kata Elly.
Menurutnya, kalau dimasa pandemi Covid-19, aktivis
buruh kerjanya hanya menyalahkan, bakal tak ada solusi. Nah, solusi alternatifnya
KSBSI sejak awal sudah mendorong agenda dialog sosial, melalui Tripartit
bersama pemerintah, perwakilan pengusaha dan serikat buruh.
“Saya pikir semua pihak terkait harus duduk
bersama untuk menyepakati bersama komitmen pemulihan ekonomi dan membuka
lapangan kerja. Tidak perlu lagi ada saling menyudutkan,” ungkapnya.
Paradigma
Baru
Lalu apa agenda prioritas KSBSI tahun ini?
Elly mengatakan ada beberapa poin prioritas yang sedang dikerjakan serikat
buruhnya. Diantaranya, fokus menjadi tuan rumah pertemuan serikat buruh/pekerja
internasional atau Labour 20 atau disingkat L20. Dimana agenda ini bertepatan
dengan pertemuan pemimpin Negara G20 di Bali pada 2022.
“Agenda internasional ini sangat penting,
karena KSBSI dipercaya pemerintah menjadi tuan rumah L20. Nantinya delegasi tim
KSBSI juga dilibatkan agenda forum pertemuan negara G20 dan memberikan masukan isu
perburuhan nasional yang ada kaitannya dalam konteks global,” ucapnya.
Selanjutnya KSBSI tetap bersikap kritis mengenai
dampak pekerja dimasa pandemi. Dengan memberikan ide kepada pemerintah tentang solusi
lapangan kerja. Dan mendorong program pelatihan kerja (vokasi) tepat sasaran
kepada calon angkatan kerja baru. Serta mendesak kepastian pekerjaan kepada dan
regulasi jaminan sosial kepada pekerja digital di era revolusi industri 4.0
dimasa pandemi ini.
“KSBSI berusaha konsisten menyikapi isu
nasional dan global terkait perburuhan. Dan saya berterima kasih kepada kader-kader
KSBSI yang tetap militan berjuang memperjuangkan hak buruh,” jelasnya.
Menyikapi disahkannya Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, Elly mengatakan KSBSI sedang melakukan uji
materi di Mahkamah Konstitusi (MK) dalam gugatan secara formil dan materil. Dia
menegaskan, KSBSI tidak menolak keseluruhan undang-undang ini.
“Tapi memang ada beberapa pasal dari
Undang-Undang Cipta Kerja dari klaster ketenagakerjaan yang kami nilai telah
merampas hak buruh di dunia kerja. Jadi sangat pantas untuk dibatalkan oleh MK,”
tegasnya.
Dia mengatakan tahun lalu KSBSI telah
berjuang dari aksi demo, dialog dan lobi pemerintah untuk menolak pasal-pasal
yang merugikan selama pembuatan Undang-Undang Cipta Kerja. Tapi apa daya,
segala bentuk upaya itu,pemerintah dan DPR tetap ngotot untuk mengesahkannya.
Bagi Elly, dibalik disahkannya
Undang-Undang Cipta Kerja, semua serikat buruh harus melakukan evaluasi. Tidak
boleh lagi saling arogan, saling menjatuhkan dan merasa hebat. Tapi harus
saling merendahkan hati dan membangun kekuatan yang baru.
“Kalau sesama serikat buruh/pekerja masih
saling curiga, maka sehebat apa pun pasti pasti gampang dikalahkan oleh lawan-lawan
kita. Apalagi tantangan serikat buruh kedepannya sangat berat. Jadi
satu-satunya harus bersatu dan tinggalkan sikap egois,” tegasnya.
Intinya, pemimpin serikat buruh harus
membangun paradigma baru. Jangan hanya mengutamakan demo sebagai kekuatan
utamanya. Namun juga harus bisa memerankan agenda dialog sosial kepada pemerintah
dan pengusaha untuk mempengaruhi kepentingan buruh.
“Serikat buruh harus meninggalkan pola
pikir lama yang hanya terkesan menuntut, tapi minim solusi. Kita tidak perlu selamanya
harus bermusuhan dengan pemerintah dan pengusaha. Dalam momen tertentu harus
bisa berdialog untuk memenangkan kepentingan buruh,” ungkapnya.
Terakhir, dia menyampaikan perempuan harus
bangkit menyuarakan anti kekerasan dan diskriminasi di dunia kerja. Sebab kasus
pelecehan seksual dan psikis masih kerap terjadi di dunia kerja. KSBSI sangat
konsisten mendorong kepemimpinan perempuan di dunia kerja dan organisasi. Lalu
memberikan pelatihan Gender Bassed Violence (GBV) kepada pengurus dan anggota
di tiap daerah (A1)